..
.
"Akhiri kontrak kita, Rion."
Damarion membeku, terpaku dengan apa yang baru saja Hime katakan. Senyum samar yang sempat menghias bibirnya memudar perlahan, berganti dengan raut datar yang tak dapat diartikan. Bibirnya seakan kelu hanya untuk sekadar bergumam pelan.
Sementara gadis yang baru saja berkata-kata masih mengedarkan pandangan. Menatap apa pun yang ada di sekelilingnya, asal bukan sepasang manik kelabu milik sang pangeran yang ada di depannya.
Tak kunjung mendengar jawaban Damarion, Hime dengan terpaksa sedikit mendongak, menatap manik kelabu yang begitu meneduhkan, mendamaikan hatinya, memberi kesejukan dalam jiwanya. Namun, secara bersamaan memberinya rasa sakit tiada tara. Apa yang telah dilakukan sang pangeran padanya, tak bisa ia abaikan begitu saja.
Kepahitan yang Hime rasakan, mungkin akan mampu memutar-balikan sebuah perasaan.
"Apa kau tak mendengarku? Aku ingin kontrak kita berakhir." Hime mengulangi ucapannya, membuat Rion kembali terfokus setelah mematung beberapa lama.
"Aku tak ingin lagi berurusan dengan iblis sepertimu. Aku ingin hidup tenang seperti manusia pada umumnya, tanpa campur tanganmu,"
"Terserah apa yang akan kau lakukan untuk mengakhiri kontrak kita. Aku tak peduli dengan itu."
"Kau juga bisa membunuhku kalau kau mau. Atau-"
"Cukup! Cukup, Hime!" teriak Damarion lantang.
Hime menutup mulutnya, memilih tak melanjutkan kata-kata saat menatap manik Rion yang kian menajam seakan menelanjanginya, bagai mata pedang yang menusuk tepat di jantungnya. Kedua tangan pria itu sudah terkepal dan gemetar.
Rion mengulurkan tangannya, menangkup pundak Hime hingga membuat gadis itu tersentak. Napasnya memburu, alisnya menaut memperlihatkan amarah yang susah payah ia tahan. Hingga tanpa sadar Rion meremas bahu Hime kian kuat, membuat sang empu meringis perih sampai harus memegangi dan menahan tangan kekarnya.
"Lepaskan, Rion. Kau menyakitiku!" Hime sedikit meninggikan nada suara, memaksa tangan Rion untuk melepaskan bahunya yang terasa remuk.
Tapi seakan tuli, atau malah mengabaikan rintihannya dengan sengaja, Rion sama sekali tak memperhatikan manik hazel Hime yang mulai berkaca-kaca.
"Dengarkan aku baik-baik, Lily. Kontrak kita tidak akan pernah berakhir. Kau akan tetap menjadi milikku, selamanya," tegas Rion penuh penekanan.
Sedang maniknya menatap lekat, memperhatikan gadisnya yang terus menggeliat gelisah dan tak mendengarkan ucapannya. "Tatap aku, lily!"
"Kau menyakitiku, Rion!"
Hime menatap Rion seraya berteriak hingga membuat pria tampan itu tersentak. Lelehan air di matanya sudah tak terbendung, sementara kedua tangannya masih menahan tangan Rion dan berusaha melepaskannya.
Tersadar, Rion mengalihkan tatapan. Menatap kedua tangannya yang hampir meremukkan bahu gadis yang sangat dicintainya. Perlahan, ia melepaskan genggaman, menatap sesaat sebelum berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Hime dengan raut penyesalan yang ia sembunyikan.
Hime tersedu, air matanya tak henti mengalir saat kedua bahunya terasa ngilu. Sementara maniknya menyorot tajam punggung tegap Rion yang semakin menjauh.
"Jika kau tak mau mengakhiri kontrak ini, aku akan mengakhirinya dengan caraku sendiri!"
Langkah Rion seketika terhenti. Tatapannya menunduk, menyiratkan amarah dan penyesalan di saat yang sama, saat di mana Hime berani mengancamnya dengan lantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LILY & The DEMON PRINCE ✔️[diterbitkan]
Fantasy(18+) Bayangan yang mengisi kesunyian dalam kegelapan.. Mengisi kekosongan jiwa akibat luka terdalam.. Memberikan kehangatan dalam rengkuhan di setiap deraian air mata.. Kau... mengingatkan bahwa aku tak sendirian. Selalu ada dirimu meski dalam baya...