9

2.9K 121 11
                                    

Dalam ulangan mingguan fisika waktu itu, tidak ada satu pun murid yang mendapat nilai sempurna. Nilai 8 yang merupakan nilai tertinggi, dipegang oleh Joana yang memang sejatinya adalah pemegang juara kelas dari semester 4. Aldo mendapat nilai telur rebus, Jian masih agak mendingan dibandingkan Aldo. Nilai yang di dapat anak itu 1,5. Roji juga dapat nilai yang sebenarnya gak jauh beda dari Jian. 1,6. Kalau Ben, dapat nilai 6,1. Anna, dapat nilai 2. Tapi yang anehnya, seperti sudah biasa mendapat hasil seperti itu setiap ulangan fisika, anak-anak yang mendapat nilai dibawah 4 bersikap biasa aja. Gak ada tampang-tampang sedih apalagi kecewa begitu hasil ulangan dibagikan ke mereka.

Aldo yang mendapat nilai 0 itu bukannya tidak menjawab soal-soal yang diberikan pak Hari. Ia menjawabnya. 1 dari 10 soal. Itu juga salah. Ckckck...
Mungkin memang dalam ulangan fisika itu, dewi keberuntungan sedang tidak mencintai Aldo. Dasar nasibnya yang sial. Satu kelas, yang dapat nilai telur rebus hanya dia saja. Yang lainnya sih, dapat nilai dibawah 5. Rata-rata malah kebanyakan yang dapat nilai 3.

Sera yang hanya menjawab 8 soal waktu itu, mendapat nilai 6. Dibawah KKM. Sifa dapat nilai 6.8. Masih di bawah KKM juga. Kalau Nada, menjawab semua soal tapi banyakan yang salah dari pada yang benar. Hasil jerih payahnya itu hanya mendapat niai 6.5.

"Seandainya saja di dunia sekolah, mata pelajaran ekstak semacem matematika, fisika sama kimia itu gak ada. Gue mau deh lama-lama sekolah."

Sifa bermonolog. Tidak mau mengusik teman-temannya yang sedang sibuk menyalin tugas remedial dari pak Hari di perpustakaan. Meski pun sebenarnya ucapannya itu membuat yang lain menghentikan kegiatannya untuk sekedar menyahuti ucapan Sifa. Namanya juga indra pendengaran anak-anak yang ada di sekitar Sifa masih berfungsi dengan bagus. Jadi, ucapan Sifa itu seperti sesuatu yang mubazir untuk tidak di tanggapi.

"Kalau udah kayak gini nih, gue pengen cepet-cepet lulus aja, deh."

"Sekolah buat pusing."

"Gue paling benci tuh sama pelajaran bu Ridha. Mata pelajaran yang hampir mirip kayak film The Conjuring, menyeramkan, sadis. Apalagi pas masuk bab trigonometri. Beh, perut gue berasa ada gasingnya."

"Gue malah kepikiran untuk nikah setiap kali pelajaran fisika, matematika, sama kimia di mulai." Ini adalah opini Olin.

Berbagai opini yang saling bersahut-sahutan itu membuat suasana perpustakaan yang semula tenang dan hening, jadi penuh dengan suara berisik. Apalagi ada selingan tawa di setiap sahutan dari tiap-tiap opini. Perpustakaan pada siang ini berubah fungsi jadi tempat tukar pendapat. Bukan tempat membaca buku.

"Husstt... ini perpus. Bukan pasar." Ibu penjaga perpus yang entah sejak kapan berdiri di sebelah rak buku, gak jauh dari anak-anak IPA 3 yang sedang berkerumun membuat kelompok, berkata dengan nada peringatan. Ia memberikan instruksi pada mereka yang sedang berkerumun itu untuk lebih diam sedikit.

"Kayak gak pernah ngalamin masa penjajahan secara gak langsung aja deh." Gerutu Olin setelah ibu perpus pergi.

"Jadi jadi, rencana kapan lo mau nikah?" Anna menanggapi opini Olin tadi.

"Ihh itu kan cuma statement doang. Lagian gue mau nikah sama siapa? Guru fisika? Mati aja deh."

Anna jadi terbahak-bahak.

*****

Sejak jam pelajaran fisika berlangsung sampai saat jam istirahat pertama, anak-anak IPA 3 yang gak lulus KKM mapel fisika menyibukkan diri di perpustakaan. Pak Hari memberikan remedi pada mereka untuk mengerjakan soal beserta pembahasan sebangak 30 soal. Tapi tidak boleh mengambil dari buku panduan yang mereka pakai. Pak Hari menyuruh mereka untuk mengambil soal dari buku-buku tahun lalu. Mau dari buku panduan atau dari buku pembahasan soal-soal UN dan SNMPTN.

High School Diary [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang