39. Amerika

92.6K 5.7K 444
                                    

Hari ini Gio sengaja pulang lebih awal. Pria itu sudah minggalkan kantor sebelum jam makan siang tiba.

"Hai, jagoan." Gio mendekati ibu mertuanya yang sedang memangku Aji.

"Loh, kok tumben jam segini udah pulang?" Pertanyaan dari ibu mertua mampu membuat Gio mati kutu. Tidak mampu menjawab.

"Ada yang ketinggalan?" tanya wanita itu lagi.

Gio menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. "Gak ada, sih, Mi. Si kembar belum pulang?"

"Belum. Mereka pulang sekolah jam satu. Itu juga kalau gak les."

Gio mengangguk. "Tadi karyawan Gio ke kantor bawa anaknya. Jadi kangen."

Wanita yang biasa disapa Nenek itu tertawa. "Ini masih jam setengah satu."

Pria yang masih mengenakan pakaian kantor menghela napasnya. Diambilnya ponsel miliknya yang berlogo apel dari saku celana. Ia akan menghubungi sopir pribadi untuk langsung mengantar kedua anaknya pulang. Hari ini, kedua anaknya tidak perlu masuk les.

"Kamu, tuh. Anaknya lagi cari ilmu malah direcokin. Disuruh pulang. Kalau gak mau les, malah dimarahin." Pandangan nenek masih fokus pada Aji. "Ganti baju dulu aja. Mau mandi?"

Gio tersenyum kikuk. "Mandinya nanti aja." Pria itu beranjak pergi.

Setelah selesai berganti pakaian, Gio bermain dengan anak laki-lakinya. Aji terlihat senang saat melihat wajah papanya. Walaupun ucapannya masih tidak jelas, tapi Gio tahu jika anaknya sedang bercerita.

"Aji, sayang Papa?" Gio menempelkan tangan Aji pada pipinya. Anak bayi itu menjawab dengan bahasanya sendiri.

"Papa juga sayang Aji. Jadi anak yang baik, ya. Jadi anak yang berguna bagi semua orang. Harus bisa jagain kakak kamu." Gio mengusap rambut anak laki-lakinya. Pria itu memiliki harapan yang besar pada Aji. Tentu tidak kalah besar dengan harapannya pada kedua anak kembarnya.

Seolah mengerti, Aji menganggukkan kepalanya.

"Diminum dulu, Pak." Dita meletakkan secangkir teh di atas meja depan Gio.

"Makasih, Bu." Gio masih tidak mengalihkan pandangannya dari Aji. Anaknya yang paling tampan.

"Saya permisi dulu, Pak." Dita sudah hampir pergi saat Gio mencegahnya.

"Bu, duduk dulu. Saya mau bicara."

Dita duduk di jarak dua meter dari posisi Gio. Pria itu memangku Aji, ditatapnya wanita yang duduk di dekatnya.

"Setelah satu minggu bekerja di rumah saya, bagaimana kesan Ibu?" Gio bertanya ramah. "Berat?"

Dita menggelengkan kepalanya. "Nggak, Pak. Rumah Bapak tidak terlalu luas."

"Terus, anak-anak saya gimana? Nyusahin?"

"Nggak sih, Pak. Namanya anak kecil, pasti lagi senengnya main."

"Maksudnya? Main gimana?" Kening Gio mengkerut.

"Itu udah tugas saya buat beresin rumah." Dita tersenyum.

Gio semakin tidak mengerti. "Maksudnya, anak saya selalu gak rapihin mainannya?"

"Namanya juga anak kecil, wajar aja." Nenek datang tiba-tiba. "Aji udah tidur, sini sama Mami aja."

"Anak saya yang mana? Keduanya udah saya ajarin untuk beresin mainan mereka kalau udah selesai main." Gio kembali bertanya setelah Aji sudah berada di pelukan neneknya.

"Yang pipinya tembem, Pak."

"Kamu kayak gak tau Qila aja, dia mood-nya suka berubah drastis." Nenek menatap sinis ke arah Dita. "Lagian, itu udah tugasnya Dita juga."

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang