Kursi Kosong

224 16 3
                                    


Kelas sebelas IPS 3 tidak terlalu ramai ketika istirahat pertama berlangsung, sebagian siswa memutuskan untuk pergi ke kantin. Hanya tinggal sebagian kecil yang tinggal di dalam kelas, mereka adalah siswa yang biasanya membawa bekal sendiri dari rumah. di antara sebagian kecil siswa itu terdapat Andini dan Rene yang tengah asyik berbincang tentang absennya Agatha dari kelas.

"Kayaknya dia lagi punya masalah keluarga, deh. Abis belakangan ini dia juga jadi suka diem, keliatan banget pikirannya lagi gak tahu kemana." Andini berkata.

"Iya, kayaknya kita jadi temen gak pernah nanya gitu dia lagi punya masalah apa. Kalo kita tahu kan kali aja kita bisa bantu."

Mata Rene tertumbuk pada kursi yang biasa ditempati Agatha, hari ini kursi itu kosong.

"Gue takutnya kalo kita banyak nanya nanti dia malah risih, kesannya kita kepo banget lagi." Ujar Andini, ia terlihat serba salah.

Pembicaraan mereka terhenti ketika Bono masuk ke dalam kelas, ia berjalan ke arah Andini dan Rene. Jantung mereka mendadak berdebar.

"Tumben dateng ke sini, ada apa, nih?" Rene menyambut Bono dengan pertanyaan.

"Agatha mana?" tanya Bono tanpa basa basi.

"Oh, pantes lo kemari." Decak Andini.

"Agatha gak masuk hari ini, katanya dia sakit." Jawab Rene.

"Dari mana lo tahu dia sakit?"

"Tadi pagi dia nelpon minta titip izin ke guru piket, ada apa lo nyariin dia?" Rene balik bertanya.

"Enggak, gue cuma ada perlu soal eskul sama dia." Bono menampik.

Mereka bergumam pendek, alasan Bono tidak sepenuh mereka terima. Tatapan mereka masih mengandung kecurigaan yang kuat.

"Boleh minta alamat Agatha, gak?" Bono kembali bersuara.

"Boleh, sih. Tapi gue gak bisa ngasih gitu aja kalo alasannya enggak kuat, ini bersangkutan dengan privasi orang, loh. Gak main-main." Andini tersenyum culas, cara bicaranya sengaja dibuat formal agar perkara kecil akan tampak besar.

"Ya ampun, tadi kan gue udah bilang kalo ini masalah eskul." Bono mulai kehabisan kesabaran.

"Oh, eskul," potong Rene, "Soal eskul, Dini. Penting banget sampe Bono harus mendesak kita." Rene menyenggol lengan Andini.

"Udah, deh. Gak usah nyindir-nyindir, kalian mau ngasih atau enggak. Kalo enggak gue cabut dari sini, cape ngomong sama kalian." Suara Bono mulai naik.

"Ih, Bono kok emosian, sih. Kita mau ngasih kok, tapi enggak usah marah-marah gitu, dong." Rene menggoda.

Ia melirik Andini, di secarik kertas Andini menuliskan alamat Agatha lalu memberikannya kepada Bono. Kertas itu langsung dirampas oleh Bono.

"Ih, Bono kasar banget." Pekik Andini.

"Kalo mau PDKT sama Agatha jujur aja, kita dukung banget, kok." Sindir Rene.

Mereka tertawa centil.

Bono sudah mulai gerah, peluh membasahi dahinya. Lebih lama bersama mereka akan membuatnya kejang-kejang.

"Oke, deh. Makasih, ya." Bono lalu pergi meninggalkan mereka yang belum berhenti menertawakan Bono hingga pipinya memerah.

***

Agatha terperanjak dari tempat tidurnya, sesuatu menusuk otaknya sepeti api yang membakar kulitnya. Kamar di lantai dua, ya, kamar itu tak pernah sekalipun terlintas di benaknya. Kamar itu luput begitu saja, ada sebuah tembok besar yang memblokade jangkauan Agatha. Malam ini tembok itu baru runtuh, dan Agatha bisa mengingatnya.

Agatha mengendap-endap keluar dari kamarnya, lagi-lagi Ibunya tidak ada di ruang tamu. Ada yang lain dari malam-malam sebelumnya, malam itu terasa begitu sunyi. Tidak ada suara sama sekali, tidak ada suara serangga di teras rumahnya, tidak ada suara angina yang berembus di luar rumah. begitu lengang hingga Agatha dapat mendengar detak jantungnya sendiri, lampu kamar tamu sudah mati ketika Agatha melewati ruang tamu.

Keadaan dapur yang gelap tidak memperlambat langkah Agatha, tangannya menyambar kayu pegangan tangga. Satu per satu anak tangga ia lewati, matanya begitu awas untuk setiap gerakan kecil di pencahayaan yang minim.

Suhu di lantai dua lebih rendah ketimbang di lantai satu, udara dingin mulai menembusi bajunya. Diam-diam menusuk kulitnya yang hangat, tetapi Agatha sama sekali tidak peduli. Ia berjalan lurus menuju kamar itu, kamar yang tak terbersit sama sekali di kepalanya. Pintu kamar terasa berat ketika Agatha mencoba membukanya, beruntung baginya engsel pintu itu masih cukup terlumasi hingga tidak menimbulkan suara derikan yang dapat menarik perhatian Ayahnya.

Jika suhu di lantai dua tadi sudah terasa dingin untuknya, itu belum ada apa-apanya dibandingkan di dalam kamar. Dua kali lipat lebih dingin, Agatha menyesal tidak mengenakan jaket yang tergantung rapi di lemari pakaiannya.

Namun, bukan udara sedingin es yang mengganggunya, tetapi kehadiran lain selain dirinya yang merongrong nuraninya. Perasaan seperti diawasi entah dari mana, dan firasat bahwa sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.

Agatha meneguhkan hatinya, sekuat tenaga ia menyakinkan dirinya untuk berani setidaknya untuk malam ini. Karena nasib orangtuanya berada di telapak tangannya, ia tidak boleh gagal.

Tiga tarik napas pelan ia lakukan untuk mengembangkan dada yang mulai ciut, dan mengisi keberaniannya yang sudah mulai habis. Agatha menatap barang-barang tak terpakai yang sengaja diletakan di sana, ada sebuah lemari tua dan tiga dus besar berisi barang tak terpakai.

Ia harus mulai mencari sekarang, karena waktunya tidak banyak. Agatha mulai memeriksa lemari, lemari itu kosong. Lalu ia beralih ke satu dus besar dekat lemari, dus pertama dari tiga dus yang ada. Dus itu berisi buku-buku lama yang sudah berjamur, dengan cahaya seadanya Agatha mulai memeriksa buku-buku itu. sebagian besar adalah buku akademis, ada sedikit novel dan majalah bekas tercampur di sana tapi tidak satupun dari buku itu bertuliskan nama Radian.

Dua dus sisanya hanya berisi pakaian bekas, semuanya pakaian perempuan jadi tidak mungkin itu adalah barang milik Radian. Lagi pula pasti ada sesuatu yang lebih punya koneksi kuat dengan Radian dari pada buku bekas atau sekedar baju, benda itu pasti sangat berarti bagi Radian sehingga ia masih terikat dengan rumah itu.

Agatha mulai cemas, pencariannya di dalam kamar itu mendekati kegagalan. Mungkin barang itu tidak ada di kamar itu, tapi di mana itu berada.

Agatha memegang keningnya yang mulai pening, teka-teki tentang di mana barang itu sudah mulai membuatnya gila. Keadaan bisa berubah begitu saja, tidak ada yang tahu. Bisa jadi saat itu adalah kali terakhir ia hidup, semenjak pagi Ayahnya tidak keluar kamar bahkan untuk makan dan minum sekali pun. ini bukan pertanda baik.

Sebuah suara gerakan cepat di langit-langit kamar, seseorang merangkak cepat tepat di atas kepala Agatha. Detak jantung Agatha melesat cepat, napasnya putus-putus. Sekonyong-konyong kepalanya menengadah ke atas, mengikuti suara itu.

Apa pun itu, gerakannya begitu cepat, sangat cepat hingga tidak akan menyisakan waktu untuk Agatha bereaksi. Tanpa ia dapat membela diri atau pun sekadar bergerak, makhluk itu akan menyergapnya.

Agatha mungkin akan kolaps gara-gara serangan jantung sebelum makhluk itu sempat membunuhnya, gerakan cepat itu berputar-putar di atas sana hingga kemudian mengarah ke sudut ruangan.

Hal terakhir yang Agatha lihat adalah plafon kamar yang runtuh, makhluk itu melompat dari dalam loteng menuju tepat ke wajah Agatha.

Agatha menjerit sambil melingungi wajahnya, ini adalah akhir hidupnya. Radian sudah bangkit dan siap membawanya ke alam baka.

Jeritan Agatha menggema di seluruh ruangan.

The Haunted DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang