Sinister

654 39 1
                                        

Agatha, Ibunya, dan Bi Nur menguburkan Bruno pagi itu. Di sepetak tanah kosong dekat pot tanaman milik Ayahnya yang sudah layu Bruno bersemayam, pekarangan mendadak berubah fungsi menjadi tempat penguburan anjing dan tanaman kesayangan mereka.

"Ibu yakin ini perbuatan Ayahmu, pagi ini dia mengamuk lagi," Ibunya berkata.

"Kali ini lebih parah dari kemarin, Ayahmu mengancam ingin membunuh Ibu. Namun karena gagal ia malah membunuh Bruno," imbuh Ibunya.

Agatha dan Bi Nur menoleh ke Ibunya hampir bersamaan, Agatha tidak bisa mempercayai ucapan Ibunya. Biar bagaimana pun Ayahnya adalah seorang yang lemah lembut, tidak mungkin ia tega memelintir leher Bruno. Dia adalah orang yang penyabar, ia suka tanaman hias –hobi yang digemari oleh orang penyabar dan pencinta keindahan, sulit untuk Agatha percaya ucapan ibunnya.

Namun, sisi lain dirinya menyadarkan bahwa sosok yang ia lihat kemarin mengamuk di teras adalah orang yang sama dan jika mengacu pada kejadian itu bukan tidak mungkin Ayahnya melakukan ini. Agatha hanya belum tahu sisi lain Ayahnya.

"Aku enggak tahu siapa yang melakukan ini dan aku tidak mau tahu, yang membuatku sedih adalah mengapa Bruno harus mati." Jawab Agatha pelan.

Ketika gerimis mulai turun, Bi Nur menarik Agatha dan Ibunya untuk masuk ke dalam rumah. Aktivitas pagi berjalan lebih lambat dan hening ketimbang pagi-pagi sebelumnya, baik Agatha atau Ibunya hanya makan sedikit. Mata mereka hampir memiliki kadar kekosongan yang sama, Bi Nur seperti sedang berhadapan dengan orang yang sedang sekarat.

"Taksinya sudah saya telpon, Bu. Mungkin sebentar lagi datang," ujar Bi Nur kepada Ibunda Agatha di meja makan.

Tidak lama kemudian taksi datang, mereka berdua segera menyerbu keluar. Sampai ketika Agatha turun di gerbang sekolahnya, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia dan Ibunya bungkam.

Agatha tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas, Andini dan Rene menatap Bingung ketika ia masuk.

"Lo kenapa? Kok kayaknya lemes banget." Tanya Andini ketika Agatha duduk di sebelahnya.

"Lo abis nangis, ya?" Rene melongok ke pelupuk mata Agatha.

Agatha menganggukkan kepalanya lalu jatuh ke pelukan Andini, awalnya Andini terkejut tapi kemudian ia menyongsong Agatha di pelukannya.

"Ya ampun, ada apa, Agatha?" Andini berkata, suaranya terdengar begitu khawatir.

"Bruno, Anjing gue, mati pagi ini," Agatha bersuara dari dalam pelukan Andini.

"Kok, bisa!" Rene mengernyit ngeri.

"Ada yang mencekik Bruno sampai mati," Agatha mulai terisak.

Beberapa saat kemudian Andini dan Rene melongo.

"Siapa yang tega membunuh Bruno?" Tukas Rene.

Agatha menggeleng, "kata nyokap gue bokap yang melakukan itu."

"Kok Bokap lo bisa tega gitu, sih!"

Agatha mengangkat kepalanya dari pelukan Andini, bola matanya berlinangan airmata. "Belakang Bokap gue berubah drastis semenjak tanamannya tiba-tiba mati, dia jadi tempramental dan sering ribut sama Nyokap. Tapi gue gak begitu yakin dia tega melakukan itu, dia sayang banget sama Bruno."

Andini menarik napas panjang, tangannya kemudian sibuk menyeka airmata di pipi Agatha. "Sekarang lo tenangin diri dulu, sebentar lagi guru pelajaran pertama masuk. Jangan sampe dia liat lo nangis-nangis gini."

"Iya, bener," Rene langsung mengeluarkan sapu tangan dari tasnya, ia memberikannya pada Agatha.

Agatha berusaha menetralkan deru napasnya agar tangisnya reda, bersamaan dengan datangnya guru ke dalam kelas, tangis Agatha sudah hilang. Hanya tinggal matanya yang sembab dan hidungnya yang merah padam.

The Haunted DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang