: : Sorrow : :

42.2K 7.1K 346
                                    

Dalam satu keluarga yang kaku, haruslah memiliki setidaknya satu orang yang berani mematahkan segala peraturan yang terlewat ketinggalan jaman. Di antara Eren, Jose, dan Alyn, ketiga anak dari Jonathan Van Joan, yang strict—hanya Alyn yang berani secara terang-terangan tak mau mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan Jonathan. Tentunya wanita itu tak melulu berani menentang sendiri, tanpa ada sosok penguat. Ibunya? Bahkan Laras tak berani bilang tidak kepada suaminya. Tentulah Helen, ibu dari Jonathan yang menjadi alasan kuat Alyn selalu berani selagi itu tidak menyalahi norma.

Melihat tubuh Helen yang terbujur kaku, dan tak lagi muda itu, baru membuat Alyn sadar. Bahwa selama ini, ia tak sepemberani itu. Alyn selalu bersembunyi di balik Helen ketika ia menghadapi konflik-konflik di rumah bersama ibu, atau ayahnya. Sekarang pelindung Alyn sudah tiada, kini yang dirasakan wanita itu ketakutan dan terus merasa bersalah. Ia kecewa pada dirinya, karena terlalu egois dan seakan lupa diri, pekerjaan membuatnya lupa keluarga.

Alyn memisahkan diri dari kakak dan orang tuanya yang tengah berkumpul menjadi satu untuk saling berbagi kekuatan. Dengan pengecutnya, Alyn hanya duduk diam di kursi ujung ruangan, tanpa mengalihkan pandanganya dari foto Helen yang tengah tersenyum.

"Devan, kalau mau pulang, gak apa-apa," ucap Alyn, ketika menyadari kehadiran Devan yang secara tiba-tiba duduk di samping Alyn. Wanita itu menoleh, dan menatap Devan. "Kamu sudah dari kemarin di sini, kamu harus pulang. Ada keluargamu di rumah." Alyn mengatakan itu dengan tulus, tapi terselipkan maksud, "Jangan sepertiku, nanti akan kecewa jika selalu menomor duakan keluarga".

Devan tak mengindahkan ucapan Alyn. Lagi pula menemani Alyn dan keluarga wanita itu juga sudah menjadi keputusan yang bulat. Karena bagi Devan, Alyn dan keluarganya sudah seperti keluarganya sendiri.

"Dari tadi ada pesan masuk terus, coba dibuka," ucap Devan, sambil menyodorkan ponsel Alyn yang baru saja dikeluarkan dari saku.

Alyn menatap ponsel itu sejenak, lalu mengambil dari tangan Devan. "Terima kasih, ya," ucap Alyn, lalu tersenyum tipis.

Devan mengangguk pelan. Melihat kondisi Alyn yang kacau, rambut yang terikat asal-asalan, wajah yang pucat, mata sayu dan membengkak, jika orang lain yang di posisi Devan—apakah tega meninggalkan wanita ini bersedih sendirian?

"Mau makan? Aku ambilkan, mau?" tanya Devan, yang langsung dijawab dengan gelengan dari Alyn. "Minum? Perutmu jangan sampai kosong." Pria itu masih tak menyerah untuk membujuk Alyn, padahal sudah sejak semalam tapi tak juga berhasil.

"Boleh," ucap Alyn.

Mendengar itu membuat Devan ikut membaik, setidaknya perut Alyn harus terisi. "Aku ambilkan dulu, tunggu sebentar ya," ucap Devan, kemudian beranjak dari duduk dan meninggalkan Alyn sendiri lagi.

Alyn melihat ibunya menangis bersama Eren, pemandangan yang tak terlalu mengejutkan. Dua wanita itu memang sangat dekat, bahkan Alyn sempat merasa bahwa ibunya lebih menyayangi Eren.

Sembari menunggu Devan kembali membawakan minum, Alyn membuka ponselnya yang sudah dianggurkan sejak semalam. Benar saja ketika benda itu dinyalakan, sudah banyak sekali notifikasi pesan yang menumpuk di layar. Mulai dari grup tempatnya bekerja, sampai ke teman-teman sekolahnya. Terdapat spam pesan pula dari seseorang yang beberapa hari belakangan ini berlalu-lalang di hatinya, Yoongi. Pria itu mengirim banyak sekali pesan.

Yoongi:

Kau pergi ke mana?

Kau baik-baik saja?

Yoongi:

Pagi ini aku mencarimu. Kau tidak ada.

Yoongi:

Aku baru mendapat kabar kalau kau sedang berduka

Maaf, aku tidak tahu.

Kau baik-baik saja?

Yoongi:

Hari ini kami pergi jalan-jalan, tapi rasanya tidak adil

Aku tidak ingin bahagia hari ini, karena kau sedang bersedih

Yoongi:

Aku berdoa untuk kebaikanmu, tapi bisakah kau membalas pesan ini?

Aneh, rasanya seperti kau sudah sangat dekat denganku. Aku terlalu khawatir

Yoongi:

Hari ini makanannya enak, kau juga harus makan

Semangatlah, Alyn-ssi.

Alyn menutup ponselnya kembali. Rasa bersalah itu datang lagi. Ia mengingat ketika pertama kali reaksinya menerima pekerjaan yang mempertemukannya dengan idola semasa remajanya. Jika tahu akan begini, Alyn tak akan merasa bahagia menerima pekerjaan itu.

Lagi-lagi Alyn meneteskan air mata. Penyesalannya begitu kuat sampai kalimat dukungan justru menjadi obat mematikan, yang semakin membuatnya tertekan. Alyn enggan membuka pesan-pesan yang lain, ia terlalu menyedihkan untuk mendapatkan dukungan yang berharga.

Jonathan datang menghampiri Alyn, wajah pria tua itu juga tak kalah kacaunya. Sebetulnya alasan mengapa Jonathan selalu mengalah pada Alyn, adalah ibunya. Pria itu terlalu menyayangi ibunya, sampai-sampai tak berani melawan.

"Makan," ucap Jonathan. Pria itu duduk di samping Alyn. Ia tahu bahwa putri bungsunya memiliki rasa kehilangan yang sama besar dengannya.

Alyn tak menjawab, dan terus meneteskan air mata. Lebih menyesakkan ketika harus menangis tanpa bersuara, lebih menekan mental kewarasan.

Jonathan menepuk lutut Alyn. "Tenang, dia akan selalu mengawasi kita. Jadi jangan buat dia kecewa dengan mogok makan," ucap Jonathan. Seorang ayah yang kaku, dan bingung bagaimana cara menghibur putrinya yang sedang bersedih, itulah Jonathan di mata Alyn.

"Dia senang begitu tau, kamu bekerja keras di sana. Jadi, untuk apa menyesal saat ini? Dia akan selalu bangga, jadi jangan merasa bersalah, oke?" Jonathan mengusap kepala Alyn, dan merangkul pundak putrinya.

Dalam pelukan ayahnya seperti ini membuat Alyn ragu-ragu, mempertanyakan, apakah ayahnya terus bersikap hangat seperti ini? Ataukah ini hanya permulaan saja, awal dari masa depan yang sangat menyeramkan. 




🐇: AAAAAAAA😭🤧😭🤧😭🤧 PT.2

Precious (PROSES TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang