Arsen duduk bersandar.
Dokter baru saja tiba memastikan keadaan tubuh pria itu apakah baik baik saja, dan dokter berbicara perihal pemeriksaannya akan keluar besok pagi.
Arsen hanya menggangguk dan sesekali menunjukkan senyumnya pada dokter itu.
"Kamu yang semangat ya. Biar cepat pulang." Ujar dokter itu. Seperti dukun yang menebak kondisi Arsen saat ini.
"Saya pamit keluar." Tambahnya lalu menepuk tepuk lengan Arsen.
Pria itu hanya menggangguk setelah berterima kasih.
Dia tak berucap. Dia hanya diam. Menatap lurus ke depan.
Hanya tersisa Nadia dan Arsen sekarang. Si kembar baru saja keluar bersama Jung dan istrinya. Sedangkan Bilal memutuskan untuk kembali bekerja.
"Aku bantu tempat tidurmu." Nadia mendekat ke arah pria itu.
"Tidak usah. Lebih baik aku seperti ini." Arsen menolak dengan lembut.
"Kamu mau makan sesuatu?" Tanya Nadia. Wanita itu berjalan ke sisi yang berlawanan. Mengambil beberapa potong buah disana.
"Tidak. Aku tidak butuh apapun." Dia menyandarkan tubuhnya. Berusaha memejamkan mata.
Arsen tau dia tak berhak bertanya. Pria salah sepertinya tidak berhak untuk menanyakan apapun yang pada akhirnya akan memberikan rasa sakit pada hatinya.
Pria itu benci kenyataan, lebih baik tak mendengar apapun dari pada gilirannya akan terus larut dan bayangan ucapan seseorang akan menghantuinya.
Dia mengabaikan istrinya, untuk apapun alasannya. Memanggil orang lain dengan papa. Secara Tidka langsung mengusik dirinya.
Arsen memejamkan matanya. Untuk kali ini, biarlah wanita itu yang akan menjelaskan sesuatu.
Karena Arsen tak menggubrisnya,, Nadia diam disana memilih untuk duduk di sofa dimana Jung tidur tadi. Sesekali Arsen mencuri pandangan pada wanita itu Sambil melirik tapi masih dengan posisi terpejam.
POV ARSEN
Untuk pertama kalinya aku larut dalam perasaanku sendiri. Kata kata depta dan Dipta memanggil pria itu dengan sebutan papa mengusik diriku, aku marah! Tapi aku tak bisa berbuat apapun. Banyak ceruk yang sudah tercipta diantara aku dan Nadia. Selama inipun aku tak pernah tau bagaimana dia memperkenalkanku kepada anak anakku. Aku adalah pria yang melukai dirinya. Entah bisa dibenarkan ataupun tidak. Setidaknya dia harus memperkenalkanku pada mereka sebagai ayah yang benar benar ayahnya.
2 hari lalu, aku menemukan kembali bahagiaku. Aku seorang ayah. Laki laki yang berhasil menciptakan juniornya dirahim seorang wanita.
Walaupun telat yang sangat telat untuk tersenyum dan mengakui aku bahagia. Aku bersyukur, tuhan masih memiliki alasan untuk membuatku tetap menjadi seornag pria sejati. Dengan menemukan istri dan kedua anakku.
"Om ini sapa ma?" Ujar salah satu dari mereka. Jemarinya yang kecil dan lembut. Aku bisa merasakan genggamannya. Menatap wajah anak itu sangat lekat dan menyentuh pipinya. Mata mungilnya itupun mengingatkanku pada sorot mata tuduh istriku. Karena dengan mata itu aku tau dimana seharusnya aku berbagi kesah dan gelisah. Jadi, aku sangat emngenali matanya.
"Om Arsen sayang." Nadia berujar. Aku sedikit terusik dan tersentak saat itu. Om? Nadia? Aku om?? Om? Om siapa? Batin ku saat itu.
"Om Acen." Suara seseorang berlari dari balik mamanya. Dan saat itulah, aku melihat buah cinta kami. Dua malaikat kecil dengan rupa yang mirip. Senyum yang mirip. Dan segala hal yang penuh dengan kemiripan.
Di hari itulah. Kami saling menyapa untuk pertama kali dari sekian banyak waktu. Di hari itulah. Aku menggenggam malaikat kecilku. Aku terbangkan mereka ke langit. Biarlah mereka menungganggiku seperti kuda. Berteriak. Memukulku. Berlari dan melompat. Aku bersumpah mulai hari itu, mereka alasan lain dariku bahagia. Biarlah aku lelah, biarlah. Bahkan sekalipun aku harus sakit aku tak peduli. Asalkan bersama mereka. Duniaku sempurna.
END POV
Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Arsen baru saja membuka matanya. Tanpa sadar dengan terpejam tadi diapun akhirnya tertidur.
Dia menengadah, memastikan bahwa dia dapat melihat langit kamar.
Siapa yang membenarkan tempat tidurnya. Batin Arsen.Pria itu menolehkan wajahnya mengamati sekitar. "Sudah jam 8." Ujar pria itu. Dia tak mendapati siapapun disana. Kemana wanita itu? Tanyanya.
Dia meraih ponsel yang ada laci disebelah kanannya. Namun Tidka dapat teraih.
"Kamu mau ambil kenapa tidak meminta tolong?" Ujar seseorang mengejutkan dirinya.
Pria itu berdiri begitu saja dari sisi bawah ranjangnya.
"Depta dan Dipta kalau makan pasti berantakan. Aku mengambil Maia nasi yang jatuh." Jelas pria itu. Seperti sudah menyadari apa yang akan ditanyakan Arsen.
"Kamu kenapa disini?" Pria itu berdiri. Membantu Arsen mengambil ponselnya.
"Aku?" Ulang pria itu. "Aku nungguin kamu sen." Jawab singkat pria itu. Lalu berjalan ke arah sampah.
"Bukannya kamu kerja Lal? Nadia yang jaga aku?" Ujar Arsen yang tak percaya saat melihat Bilal yang emnajganya saat ini.
"Kamukan tau, si kembar kalau nggak sama mamanya dia bakal nggak nyaman sen. Aku juga kaisan istri Jung. Kamukan juga kenal Nadia. Dia paling tidak suka merepotkan seseorang." Jelasnya. Sok tau dan sok kenal. Batin Arsen. Mendengus sebal.
"Walaupun nggak kamu jaga pun nggak papa aku Lal."
"Aku juga pinginnya gitu. Kayaknya kamu pun nggak bakal nyaman kalau Dwngan aku."
"Lah kamu tau Lal." Arsen mendengus lalu membiarkan pria itu sibuk Dnegan dirinya sendiri. Mereka tak berbicara apapun setelah itu. Arsen lebih memilih bermain dengan ponselnya dan Bilal juga bermain dengan ponselnya duduk di sofa.
----
Mobil putih itu baru saja merapat di rumah sakit kota Seoul."Kamar VIP atas nama Arseno Halim." Ujar seornag pria. Saat tiba di informasi center dengan menggunakan bahasa Inggris dia bertanya perihal kamar dimana Arsen dirawat.
"Mohon maaf kami tidak dapat memberitahukan letak kamar pasien tanpa Surat ataupun pemberitahuan."
Tolak seorang wanita yang ada di information center itu."Saya kerabatnya mbak. Tolong hubung siapapun disana. Bilang saya Farel Hanafi dari Indonesia." Terang pria itu.
Wanita itupun menggangguk dan menghubungi seseorang dibalik telepon.
Saat itu kata farel menatap darah tangga. Seseorang yang nampak familiar berjalan turun dari sana, wanita itu tersenyum dengan seorang laki laki.
"Nadia." Tanyanya dalam hati. Wanita dengan rambut sebahu itu berjalan saling berbicara akrab.
"Benar dia Nadia. Tapi siapa pria itu?" Tanya farel tak percaya. Nadia benar benar terlihat bahagia. Tak ada beban apapun diantara mereka. Bagaimana itu bisa terjadi? Arsen? Bagaiman dengan sahabatnya itu?
"Permisi pak. Lantai 23. No 2340."
"Eh, iya mbak apa?" Ulang Farel. Pria itu masih fokus melihat Nadia.
"Kamar 2340 dilantai 23 pak."
"Apa mbak?" Farel menoleh ke wanita itu.
"Silahkan ke lantai 23 kamar 2340." Wanita itu mengakhiri jawabannya Dnegan senyuman. Farel hanya menunjukkan deretan giginya. Cengir karena merasa bersalah.
"Baik mbak. Makasih." Diapun menoleh kembali. Namun wanita itu menghilang bersama pria yang bersamanya.
Farel hanya menggelengkan kepala membuang rasa curiganya.
Semoga saja dia bukan siapa siapa Nadia.
----
To be continue.
Salam,
ARS.Mohon maaf sedikit. karena potongannya belum selesai. untuk update selanjutnya hari Selasa untuk potongannya.ya. terimakasih atas semangatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I miss You, My Wife
RomanceAku tersadar setelah kepergian dia Yang aku tau hanya penyesalan. 1 tahun apakah belum cukup bagimu untuk menjauhiku? #perselingkuhan BEBERAPA PART DI PRIVASI. FOLLOW UNTUK MEMBUKA