"Bukan perkara mudah memang melupakan. Tapi, percaya saja, Tuhan itu imbang; apa yang hilang, akan mengantarkanmu pada pertemuan yang baru," - Annonymous.
***
Ada yang berbeda dari kamar paling depan rumah bercat cokelat muda yang biasanya kosong melompong ketika malam minggu itu. Lampu kamarnya tampak menyala, ditambah tape recorder jadul yang sedang memutarkan lagu-lagu Payung Teduh yang barangkali terdengar hingga radius empat ratus meter dari sana.
Di pojok ruangan, tepatnya di depan meja belajar yang hampir seluruh permukaannya tertutupi kertas, si pemilik kamar tengah tenggelam dalam imajinasinya. Raut wajahnya terlihat serius meski kadang mulutnya usil mengikuti lirik lagu. Meski begitu, fokusnya tak pernah terpecahkan. Telinga mendengarkan musik, tapi tangan dan otak konsisten membentuk gambar. Begitulah memang Lidya ketika sedang bekerja. Seluruh dunianya hanya terfokus pada selembar kertas sketsa. Seandainya saja diluar terjadi hujan es batu atau UFO yang tiba-tiba turun, anak itu pasti anteng-anteng saja saking fokusnya. Pun saat dari luar sayup suara keras mesin Volkswagen keluaran '78 yang sepertinya baru saja memasuki halaman rumah tak mengusik pendengarannya, disusul derap langkah kaki yang beradu dengan paving block memasuki halaman. Tak perlu repot-repot menoleh, ia tahu siapa 'tamu'-nya.
"DOOORRRRR!!!"
Terlihat seringai menyebalkan dari dua makhluk tak diundang yang menempelkan wajahnya di jendela kamar. Membuat kaca jendela yang selalu mengkilat karena tiap minggu dilap Celine itu kini dipenuhi hawa panas. Si anak tengil menoleh sesaat, lalu cuek saja kembali meneruskan proyeknya. Perlahan daun jendelanya terbuka. Saktia melompat masuk lalu duduk pada kusen kayu, sementara Kinal cuek saja tetap berdiri--menyandar pada tepian jendela. Dua sohibnya rupanya.
"Widih, widih. Apa-apaan nih? Malam minggu di kamar aja? Jaga lilin?" si Jenius Saktia itu menggeleng-gelengkan kepalanya dramatis.
"Iya nih. Dicariin tuh, sama mba-mba kasir circle-K," timpal Kinal meledek.
Ditodong begitu Lidya hanya mampu mengulas senyum tipis. "Titip salamnya aja deh," katanya kalem.
Kedua sohib kentalnya itu saling lempar kode, memandang si tengil penuh arti. "Seriusan nih?" Kinal bertanya.
"Yep,"
"Yah, ga asyik. Mentang-mentang mau punya pacar baru. Belum jadian aja udah dilarang keluar, gimana kalo udah resmi? Dipasung nih jangan-jangan," Saktia pura-pura protes. Namun kuluman senyum jenaka itu jelas menggambarkan bahwa celetukannya itu tak lebih dari sekedar candaan. "Mau OTP-an sampe subuh apa gimana nih?" sambungnya usil.
Anak tengil itu mesem saja. Namun saat disinggung soal calon pacar, angannya tiba-tiba saja terpental jauh ke Jogja sana. Seketika saja awan kelabu menyelimuti wajah tengil khas Lidya, gerakan tangannya sempat terhenti sepersekian detik. Dan hal itu jelas tak luput dari mata jahil kedua sohibnya. Saktia dan Kinal mesem geli.
"Ngga ada. Doi lagi di rumah neneknya, katanya sih susah sinyal di sana," anak itu menyahut santai, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
Bagaimana tak kecewa? Niat hati ingin melenggang ke Yogyakarta, apa daya si pujaan hati telah memiliki agenda tersendiri yang tidak bisa diganggu-gugat. Katanya, gadis itu ingin menghabiskan liburannya di kediaman sang Nenek dipelosok Batu sana, yang mana jangankan untuk Video Call-an, chat yang ia kirimkan mendapat balasan dalam waktu setengah jam saja sudah lumayan. Itu juga sepertinya yang jadi alasan mengapa ia masih getol bekerja meski di musim liburan. Mencari pelampiasan, hm.
"Pfft, kesian banget," ledek kedua sohibnya, lalu mulai cekikikan. Lidya yang moodnya tak ingin makin hancur pun lebih memilih diam.
"Poor you deh, Brader," Saktia menepuk pelan bahu Lidya. "Makanya, join sama kita, dijamin pulang senyum sumringah jaya sentosa," katanya, seraya menaik-turunkan alisnya dengan mimik jenaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan OneShot JKT48
FanficKumpulan Fanfict One Shot atau Cerita Pendek JKT48 dengan berbagai tema. Selamat menikmati!