"Lidy, jam berapa sekarang?!"
Zara menghentakkan kaki mungilnya saat melewati ambang pintu. Berjalan sambil bersedekap dada menuju meja kerja yang hampir dipenuhi oleh kertas-kertas penuh coretan. Gaun putih selutut yang ia kenakan bergoyang seirama dengan ayunan langkahnya. Menatap kesal pada seseorang yang masih sibuk bergelut dengan kertas-kertasnya.
"Ih, Lidy!" Ia merengek. Berkacak pinggang di depan meja kerja seseorang yang ia panggil Lidy itu. Seorang perempuan berusia tiga-puluhan itu masih saja asyik berkutat dengan pensil serta kertas di depannya. Sama sekali tak terusik dengan kehadiran gadis mungil itu. Keningnya mengkerut tanda ia begitu serius. Gadis kecil itu memutar bola matanya malas. Selalu seperti itu ketika sedang ada deadline, pikirnya. Akhirnya dengan kesal dirampasnya pensil yang tengah asyik menari di atas kertas itu dengan sekali sentakan. Lidya---atau Zara memanggilnya Lidy---itu hanya mengangkat kepalanya. Menatap si anak dari balik kacamata berbingkai hitamnya. Kerutan di dahinya sedikit terlihat meski tetap saja kalah oleh kesan manis dan tegas di wajahnya. Apalagi saat melihat Zara yang tengah terlihat kesal di depannya, bibirnya refleks mengulum senyum kecil. Wajah kesal dan mengerucutkan bibir Zara mengingatkannya pada seseorang.
Masih sambil tersenyum usil Lidya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Kamu makin mirip Lody," katanya sambil terkekeh.
"Iyalah. Karena aku lahir dari Lody bukannya Lidy!" Zara menyahut kesal. Tapi detik berikutnya anak itu menampilkan wajah mendungnya. "Lidy gak lupa kan hari ini?"
Lidya hanya bangkit kemudian berbalik menatap jendela besar di belakang meja kerjanya yang terbuka. Mana mungkin ia bisa lupa. Meski hampir sewindu tapi kepedihan itu masih bisa ia rasa. Terkubur rapi dalam sorot matanya meski kadang tersamarkan oleh kaca yang membingkai. Tapi bagaimana pun, semua orang yang mengenalnya pasti bisa merasakannya--bahkan oleh Zara sekalipun--kesakitan orang yang selama ini berperan sebagai Ayah sekaligus Ibu baginya itu. Hari ini... Lidya menghela nafas panjang. Menghirup udara pagi yang terasa basah sehabis hujan. Kabut bahkan terlihat masih menyelimuti Minggu pagi di Bandung. Merangsek masuk menyentuh kulitnya yang hanya dibalut kemeja putih tipis. Begitu dingin.
"Tuh kan, selalu aja lupa! Males ah!"
Suara kecil Zara kembali merebut perhatiannya. Ia berbalik. Melepas kacamata yang membingkai mata sipitnya. Tersenyum jahil pada puteri kecilnya. Satu-satunya hal terpenting yang ia punya saat ini--alasannya untuk bertahan. Sambil menggulung lengan kemeja putihnya Lidya menghampiri Zara. Mengangkat tubuh kecil gadis yang beranjak remaja itu dan mendudukannya di atas meja kerja. Lalu giliran Lidya yang berkacak pinggang di depan Zara.
"Kamu bawel banget persis Melody," katanya, lagi. Mencubit dagu lancip Zara yang masih mencebikkan bibirnya. Lantas mata beningnya melirik pigura kecil yang ada di atas meja kerja. Tepat di sebelah laptop Lidya. Tangan itu meraihnya.
"Ceritain gimana bisa Lody sama Lidy ketemu dong," Zara mengacungkan pigura itu pada Lidya. Senyum lebarnya lucu terkulum. Sorot mata jahilnya jelas menurun dari dirinya. Meski kebanyakan Zara memang mewarisi segala apa yang ada pada Melody-nya. Keras kepalanya, cerewetnya, susah mengalahnya, senyumnya. Sungguh. Bahkan hanya lewat selembar foto saja bisa dengan jelas terlihat kemiripan keduanya. Zara kecil yang tersenyum lebar dengan Lidya dan Melody yang memeluknya dari belakang. Penuh akan pancaran kebahagiaan. Foto yang diambil ketika liburan Natal bertahun silam. Sekaligus mungkin... Liburan terakhir ketiganya. Ia menelan ludahnya pahit. Memilih duduk di kursi yang ada di depan Zara yang masih terduduk di mejanya. Matanya lekat menatap pigura berukiran indah itu.
"Kamu tau Lody kamu ini orangnya paling tsundere. Banget. Mungkin karena waktu itu dia salah satu murid populer di kampusnya ya?" ia terkekeh. Rasanya agak aneh memang menceritakan hal semacam ini pada anak yang baru berusia lima belas tahun. Tapi Zara juga berhak tahu tentang bagaimana masa lalu kedua orang tuanya. Lagipula, usia dan tubuhnya boleh saja masih terlihat seperti anak-anak, tapi kejeniusannya jelas patut dipertimbangkan. Lagi, itu jelas menurun dari Melodynya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan OneShot JKT48
Fiksi PenggemarKumpulan Fanfict One Shot atau Cerita Pendek JKT48 dengan berbagai tema. Selamat menikmati!