Kata orang-orang dan hasil curhatan teman-teman, orang yang lagi jatuh cinta pasti rela mengorbankan semuanya ke orang yang kita sayangi tersebut. Lo akan berusaha sekuat mungkin, untuk membuat pasangan kita bahagia. Awalnya gue gak percaya dengan pernyataan itu. Mana mungkin sih, lo mau disuruh-suruh orang – dalam kata lain memenuhi permintaan pasangan kita, meskipun absurd sekalipun. Gue beranggapan orang yang berkelakuan tersebut adalah orang yang bodoh. Kenapa? Masa mau lo merelakan semuanya demi pasangan yang belum juga berakhir bersama. Jodoh ada di tangan Tuhan, mungkin aja besok lo putus, atau sejam kemudian kalian berantem dan berpisah saat itu juga. Maaf-maaf aja nih sebelumnya, kalau gue menyepelekan tentang teori orang jatuh cinta. Masalahnya, sejauh gue hidup selama sembilan belas jalan ke dua puluh tahun, gue sama sekali belum merasakan yang namanya jatuh cinta. Kalau fase suka-sukaan sama kakak kelas apalagi sama member band kesukaan, gue akuin pernah, tapi selain itu belum.
Kadang gue meruntuki hidup yang gue jalani sekarang. Gue yang memilih untuk bersekolah sejauh ribuan kilometer dari tanah air, bukannya membawa berkah malah membawa sengsara. Kesengsaraan itu gue namai Daniel Hanggara Adietomo. Seorang lelaki belangsatan, yang tinggal di sebrang kamar gue. Anaknya baik kalau dia lagi sober, tapi kalau lagi mabok, jangan ditanya – sangat sangat merepotkan. Mukanya akan berubah menjadi semerah tomat, lalu dia akan berubah menjadi sangat manja. Gue tau ini semua karena ya i've seen him like that numerous time.
Tapi kali ini berbeda. Dia sebenarnya gak minta buat gue ngejemput, tapi gue merasa kasihan aja sama Daniel. Suaranya yang udah tidak bertenaga membuat gue berpikiran dia pasti udah sama sekali gak sadar. Bisa aja kan dia pas perjalanan pulang diapa-apain orang, ditodong, terus akhirnya semua isi dompetnya habis tak bersisa.
Atau emang mungkin, guenya aja yang gampang kasihan sama orang jadi gue rela menjemput dan mengantarkan dia sampai ke kamarnya. Namun, setelah gue pikir-pikir mana ada orang rela jalan dari tempat clubbing buat ke telephone box untuk menelpon seseorang, terlebih lagi dia harus memencet nomor telepon, yang pasti dia masih ada rasa sadar meskipun sedikit. Daniel is such a mysterious guy in a surprising way.
Dengan suaranya yang sengau, dia menelpon pukul 2 pagi – ketika gue lagi asyik-asyiknya binge-watching drama korea. "Azalea Kinanthi......" nomornya gak dikenal dan dia memanggil nama lengkap gue. Sudah gue duga pasti Daniel (lagi).
"I should have known that it's from you" Sebenarnya ini bukan sekali dua kali dia menelpon gue, tapi berkali-kali. Apesnya sekarang adalah gue ada di dorm, sedangkan sebelum-sebelumnya gue berada di luar kampus yang sangat tidak memungkinkan untuk ladenin apalagi ngejemput dia. Berujung gue menelpon Mario apa pacarnya, Allisja buat jemput dia or at least tell them he's in a club somewhere around town.
"Azalea..."
"Mau lo apa sih, Nel?"
"Gue kangen sama lo."
"Geez, we're living across each other dan kita ngeliat satu sama lain tiap hari. Apa sih yang lo kangenin dari gue?!?!"
"I miss smelling that herbal smell from your hair" Gue mendenggus mendengar jawabannya. Bisa-bisanya sih dia ngegombal pagi-pagi. Dasar cowok hidung belang!
"Daniel....."
"Say it....that you miss me too" Dia itu adalah satu-satunya orang yang gampang banget buat ngungkapin perasaannya. Gue gak heran kalau dia suka ngomong kayak gini ke semua orang, meskipun orang itu bukan pacarnya. Untungnya aja gue belum di tahap baperan denger dia ngomong kayak gini.
"Lo jangan kemana-mana, tunggu gue disitu." Gue menutup telponnya, mengambil dompet dari meja belajar dan keluar kamar untuk menjemput dia.
Malam itu adalah malam pertama yang mengawali kesengsaraan gue. Gue menjemput Daniel dengan pakaian seadanya, t-shirt abu-abu yang biasa gua pakai tidur, celana panjang, serta puma slippers hadiah ulang tahun dari dirinya. Gue nekat lari-lari tengah malam demi menjemput cowok gak tau diri yang menganggu ritual gue menonton para oppa, setiap jumat malam. Untung saja dia sempat bilang dia akan pergi ke The Venue untuk menghabiskan Friday night kali ini -- saat gue berpapasan dengannya di depan kamar jam 11 malam tadi. Setidaknya gue gak pusing-pusing menelpon teman-teman gue yang pasti sedang berpesta dan gue yakin mau sesering apapun ditelpon, pasti gak bakalan diangkat.