Kalian bisa ngerasain gak sih apa yang bikin gue suka sama Danik selama ini? Selama gue kuliah di Manchester itu ya, gak pas sekarang ini. Gue baru bener-bener nyadar setelah enam tahun dan alasannya itu simple banget, gak neko-neko banget. Danik membuat gue nyaman. Comfort. Cliché banget ya? Dan gue baru nyadar itu sekarang. Ketika Daniel pergi ke New York.
Bagaimana gue dengan gampangnya menceritakan tentang hari-hari di kantor, kekesalan gue dengan client, bahkan hal sepele pun. Bukan berarti Ardhan tidak gue ceritakan, tapi ada rasa yang berbeda kalau gue certain hal-hal konyol ke dia. Ardhan orangnya serius dan prefeksionis. Di hadapannya gue lebih harus menjaga sikap? Bukan berarti gue tidak bisa menjadi diri sendiri, tapi lebih ke I just can't loose myself easily in front of him. Ada dinding tipis di depan gue dan dia. I've been trying to break it for four years, but it seems I only could crack a bit.
Banyak hal yang sebenarnya belum gue ceritakan ke Ardhan, selain tentang hubungan gue dengan Danik. Ada juga beberapa hal yang belum siap gue ceritakan. He knows about papa and his accident but he doesn't know the aftermath. How mess I was throughout my second til senior year in high school, the suicidal thoughs that had been filled my thoughts during those years, also my Ombrophobia. Untung saja selama gue kenal Ardhan, London jarang banget hujan yang parah kayak jaman gue di Manchester dan di Jakarta. Jadi belum menceritakan tentang itu menurut gue sangat lumrah.
LINE
Daniel A. H
Nan, apa kabar?
Maaf ya jarang ngabarin
Gue sibuk banget nih
ngulerin bokap kesana kemari
Btw, gue kangen lo dehAzalea Kinanthi
Baik, Nellll
Ardhan udah nyampe Jakarta btw
Hati-hati ya disana
Belajar yang banyak dari bokap loDaniel A. H
Salam buat Ardhan
Eh dia aja gatau kita kenal ya
Oops
Thanks KinanSemasa kita kuliah, percakapan gue dengan Daniel gak se-awakward ini. Dulu gue bener-bener asal nyeplos balesnya. Daniel yang sekarang tetap sama dengan yang dulu. Dia tetap ngomong jujur apa yang ada di pikirannya. Hanya gue yang berubah. Gue lebih menjaga omongan sama Daniel. Mau bagaimanapun juga, gue masih pacarnya Ardhan dan gue gamau menduakan dia apapun caranya. Gue membalas pesan Daniel masih dalam batas balasan untuk teman, yang isinya singkat jelas dan padat meskipun ada bercandanya dan sedikit perhatian.
Balik lagi dengan kenyamanan seorang Daniel menurut Azalea Kinanthi. Meskipun gue punya Brian, sahabat gue dari SMP tapi kenyamanan antara dia dengan Brian sungguh terasa berbeda. Rasanya kalau di depan Daniel tuh urat malu gue udah gak ada kayaknya.
**
"Bentar lagi kamu ulang tahun." Ardhan membuka percakapan, tangannya memegang kemudi di depannya. Malam ini, Ardhan memutuskan untuk menjemput gue ke kantor. Ardhan udah bilang daritadi pagi kalau mau jemput, jadi gue yang biasanya bawa mobil – akhirnya naik taksi pas berangkat ke kantor. Ardhan menjemput gue tepat pas jam 7 malam, tumben-tumbennya dia tepat waktu biasanya gue bisa nungguin dia setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Di balik orang yang prefeksionis ini, Ardhan masih ada kekurangannya yaitu tukang ngaret.
Gue yang sedari tadi membaca dan membalas whatsapp kerjaan, hanya menjawab seadanya, "Hmm..."
"Gak excited?"
"Ngapain seneng kan tambah tua."
"Iyasihhh cuma kan itu harinya kamu. Masa gak seneng?"
"Dikit aja sih, Ar. Lagian umur-umur segini tuh justru gak mikirin lagi yang namanya umur, yang ada makin tambah stress."
"Nan? Kamu gamau minta sesuatu?" Tanya Ardhan tiba-tiba dengan memandang gue lekat-lekat, disaat lampu merah.
"Minta tas hérmés boleh gak?" canda gue untuk mencairkan suasana. Kenapa sih baru gak ketemu tiga minggu aja, bisa secanggung ini.