On Rainy Days

459 43 2
                                    

Oktober, 2016

Hujan. Hasil butir-butir air yang menguap di atas awan lalu turun ke permukaan dengan rintik-rintik air. Hujan membuat gue gak bisa melakukan apa-apa. Cuma bisa berdiam diri di rumah, merhatiin kapan hujannya reda, apalagi kalau lagi di jalan. Macet dimana-mana, banyak motor yang meneduh di terowongan atau halte bus yang pasti membuat lebar jalan makin sempit dan memperlambat jalanan. Hujan bikin becek, gue gak suka badan gue basah karena hujan, apalagi kalau terkena air lumpur dari tanah, ew!

Tapi Daniel suka banget sama yang namanya hujan. Katanya hujan bikin pikirannya tenang dan akhirnya mendapatkan inspirasi kalau lagi ngerjain tugas. Pemikiran gue dengan Daniel jelas 180 derajat bertolak belakang. Dia seperti cewek yang beranggapan hujan itu romantis, sedangkan gue menanggap hujan adalah sumber malapetaka. Gue membenci hujan bukan tanpa dasar, ada alasan dibalik kebenciaan gue tersebut.

Semua itu berawal dari gue yang pulang sekolah dijemput papa. Kali itu gue ada rapat pensi tahunan sekolah, yang berarti gue harus berada di sekolah lebih lama dari anak-anak yang lainnya. Sebagai koordinator lomba, gue dan panitia lainnya harus make sure semuanya sesuai rencana serta mentiapkan id card buat tiap-tiap peserta. Gue kebanyakan lembur di sekolah sampai jam 7 malem. Gue yang awalnya mau pulang naik taksi aja karena diluar hujan, ternyata disuruh papa tunggu disitu aja karena beliau udah mengarah pulang dan kebetulan arah kerumah dari kantornya melewati sekolah. Gue menunggu papa 15 menitan, sampai akhirnya gue melihat sedan berwarna hitam mendekati arah halaman parkir sekolah.

Masih terpakpang jelas di ingatan, kalau waktu itu Bulan Oktober yang berarti waktunya musim hujan. Hujan yang lebat membuat jarak pandang dari mobil sangat terbatas. Cuma tinggal sepuluh menit lagi kami  sampai rumah, tetapi Tuhan berkata lain. Saat lampu hijau sudah menyala dan papa menginjak gas mobilnya untuk menjalankan mobilnya, tiba-tiba dari arah kanan sebuah mobil bekecepatan tinggi melaju di depan dan antara mobil tersebut dan mobil kami bertabrakan hebat. Gue masih bisa mengingat kaca mobil langsung berpecah belah ke arah kami berdua, air bag langsung terbuka lebar dan terakhir yang gue lihat, papa sudah bercucuran darah.

Gue bangun dua hari kemudian, dengan kedua tangan dan leher di gips. Mama dan adik gue, Bram langusung menangis-nangis di hadapan gue, ketika melihat gue sudah sadarkan diri. Hal pertama yang gue lakukan adalah melihat kanan-kiri untuk ngelihat apakah papa baik-baik aja apa enggak, tetapi gue tidak menemukan papa di kamar. Gue yang awalnya sedang dalam posisi tidur, langsung memaksa punggung gue untuk berdiri dan bertanya kepada mereka,

"Ma, Bram, papa dimana?"

Keduanya gak ada yang bersuara. Seluruh badan gue mulai gemeteran. "Papa dimana, Ma?" Mama tidak henti-hentinya menangis, Bram pun juga. Gue mulai teriak, "PAPA BAIK-BAIK AJA KAN?!?!"

Setelah gue berteriak, mereka mulai menghentikan tangisnya dan Bram langsung merangkul gue dengan erat. "Kak, papa masih ada di ICU. Kondisinya masih kritis"

"Tapi papa masih hidup kan, Bram?"

Bram mengangguk dengan senggukan., sedangkan mama hanya terdiam seribu Bahasa.

"Kak, nanti kalo ketemu papa jangan nangis ya apalagi masang muka kasihan" ucap Bram lagi sambil menyodorkan gelas yang berisikan air putih.

"Kenapa?"

"Kedua kaki papa diamputasi" mendengar jawaban Bram gue langsung menaruh gelas tersebut menangis tersedu-sedu. Kecelakaan ini adalah sepenuhnya kesalahan gue. Jika hari itu, gue gak bilang papa kalau gue ada rapat sampai malam, mungkin papa masih baik-baik aja. Mungkin kami semua ada di rumah lagi menonton berita malam sambil mengemil makanan kesukaan kami. Bram dengan makaroni pedasnya, gue dengan buah manga, papa dengan seduhan kopi susu bikinan mama, dan mama hanya memandangi kami bertiga sambil minta makanan gue dan Bram. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Dan gue masih bisa melihat papa berjalan dengan kedua kakinya.

LacunaWhere stories live. Discover now