Sebenarnya kekesalan gue terhadap Daniel emang one-sided. No one knows except Ara and I. Gue, memang, menyalahkan semuanya ke dia – walaupun, ini semua terjadi karena gue yang kurang gesit aja buat nyampein apa yang gue mau. Seperti quote yang gue temui di pinterest tadi pagi. "A lot of people are afraid to tell what they want. That's why they dont get what they want". Intinya semua ini salah gue.
Gak salah sih kalau dia senang banget pas ternyata Allisja masih inget dengan konser the script. Mengingat Daniel yang belom move on dan betapa galaunya dia waktu awal-awal putus. Gue masih ingat betul bagiamana gue berusaha untuk membuat Daniel gak hanyut dalam kesedihan, saat dia baru putus. Allisja memutuskan hubungannya dengan Daniel, ketika mereka lagi dinner bareng dalam rangka ngerayain hasil short film yang dibuat Daniel masuk dalam best favorite dalam ajang Aesthetica Short Film Festival. Sadis gak sih?! Yang seharusnya lo berbahagia eh malah dibikin sedih. Tepat pada malam itu, Allisja bilang kalau lebih baik mereka putus. Alasannya simple karena dia merasa hubungan mereka udah dalam tahap sama-sama bosan dengan rutinitas yang ada. Allisja capek sama sikap Daniel yang lama-kelamaan kayak stalker. Sedangkan, Allisja sendiri gak pernah too obsessive sama pacarnya sendiri kalau keluar buat party or any kind of celebration. Allisja menganggap Daniel gak percayaan sama ceweknya sendiri, sedangkan dirinya memberikan kebebasan kepada Daniel.
Mei, 2016
Malamnya, Daniel mengetok pintu kamar gue dengan sangat kencang. Saat itu gue kira dia cuma iseng doang ngetok pintu buat ngajak main apa nemenin dia ngedit video, tapi ternyata dia ngetok pintu karena dia lagi sedih. Yes, he cried that day. Ini pertama kalinya gue melihat seorang cowok nangis karena cewek. Biasa kan kebalikannya. Butuh tiga puluh menit untuk menenangkan Daniel dan akhirnya bercerita gimana dia bisa memutuskan hubungan tiga tahun tersebut."She told me that I'm too obsess with her. But, it's because I love her and I don't want something bad happen." Ujarnya dengan tersedu-sedu dan membersihkan ingusnya dengan tissue. "How come I wasn't worried, when all she did was hanging out with boys. I'm her boyfriend, yet she...." Daniel kembali terisak hingga dia gak sanggup ngelanjutin kata-katanya. Yang gue lakukan hanya menepuk pundaknya dan berkata, "Break up doesn't mean the world end. You can find another one."
Malam itu, gue tidak hanya melihat Daniel yang innocent gara-gara putus cinta tapi juga dia membolehkan diri gue untuk melihat diri dia yang sebenarnya. Sejauh gue berkenalan, belum pernah sama sekali dia cerita tentang keluarganya. Cuma sekali. Itupun dia cerita tentang oma-nya yang ngasih resep bubur ayam buat gue, waktu sakit. Daniel bercerita tentang gimana Allisja yang membantu membulatkan keputsannya untuk kuliah di di bidang yang sama sekali jauh dari apa yang papanya harapkan. Allisja sendiri yang datang ke orangtuanya buat memperbolehkan Daniel untuk kuliah yang diinginkannya dari ia masuk ke SMA. Tentu saja, ia ditolak mentah-mentah. Bahkan, semua kamera yang Daniel beli langsung dibuang gitu aja sama papanya.
Tapi disaat Daniel kira itu adalah akhir dari semua mimpi yang sudah ia rancang. Disitulah, Allisja kerap membantu Daniel nyari-nyari lomba film di sekolah lain, bahkan dia sempat ikutan jadi pemain filmnya. Cuma karena kesibukan Allisja yang semakin meningkat demi belajar untuk ujian akhir, Allisja cuma bisa bantu dengan mencari pemain atau nemenin ngedit di malam minggu. Allisja rela mengorbankan malam minggunya yang seharusnya buat mereka pacaran, buat Daniel meraih impiannya. Hingga pada akhirnya, Papanya Daniel ngeliat betapa serius anaknya buat menggeluti dunia perfilman. Daniel dibolehin kuliah film dengan syarat setelah ia lulus, ia harus langsung kembali ke Indonesia untuk membantu papanya dalam bisini real estate-nya. Tidak harus sebagai pegawai full-time, tapi beliau ingin anaknya bisa mengetahui apa yang harus dilakukan, ketika sudah waktunya sebagai penerus perusahaan. Setelah mendapatkan restu untuk kuliah di bidang film, Daniel bekerja keras untuk bisa diterima di universitas yang sama dengan Allisja. Hubungan mereka di awal tahun ketika Allisja kuliah, bisa dibilang sangat renggang. Dengan perbedaan waktu dan rutinitas, membuat mereka hanya bisa menanyai kabar via line, bahkan cuma bisa nge-video call seminggu sekali kalau gak sibuk. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu datang juga. Kalau kata peribahasa, "bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian." Daniel diterima di universitas yang sama dan mereka bisa bertemu lagi setelah setahun LDR-an.