"Damn it, how am I going to explain him?" Sambil meminum cocktail yang gue pesan. "My life is ruined now." Gue mengacak-ngacak rambut dengan frustasi.
"Hey, at least you stay true to yourself." Ara mengelus-ngelus pundak gue pelan. Disaat seperti ini gue sangat berterima kasih mendapati Ara dan Mario ada di dekat gue. Mereka rela terbang ke Jakarta dan cuti kerja untuk mendatangi my birthday surprise planned by Ardhan tadi sore.
"So, are you going to accept him or not?" Tanya Mario dari sebrang meja. Gue tidak kaget mendengar pertanyaan itu keluar dari Mario karena mereka tahu kalau gue disini sekarang adalah memusingkan atas pernyataan tersebut.
"If you hesitate, then, you know what to do." Lanjut Mario. Apart from Ara, he's the most realist person I've ever met. Kadang, gue setuju dengan pendapatnya meskipun beberapa kali gue suka beradu debat dengannya hanya karena pandangan kita berbeda.
Mario menegak beer yang ia pesan, membenarkan posisi duduknya. "I'm not going to lecture you, but remember this if someone ask you to marry then it must be a really big decision for him. Dia mungkin udah mikirin ini berkali-kali sebelum akhirnya mantep kalo lo adalah the chosen one for him. Although you may feel bad for him, but he needs to know the truth. Not some bullshits you have planned before. One more thing, lo harus jelasin ke dia setidaknya kurang dari seminggu ini. Jangan gantungin perasaan orang. "
Two hours before~
"So, Azalea Kinanthi, Will you marry me?" Ucapnya sambil berlutut, merogoh sesuatu dari kantong celananya yang gue yakin adalah cincin. Dia mengeluarkan kotak berwarna biru pastel, yang kalau para perempuan dikasih ini pasti langsung tersenyum bahagia karena that's one of woman's wildest dream.
My mind can't even function properly. Kejadian yang sering gue impikan akhirnya terjadi. Entah sudah berapa kali gue memikirkan how Azalea Kinanthi would get a marriage proposal. Gue seharusnya tahu kata apa yang gue jawab, tapi mulut gue sama sekali gabisa mengatakan tiga huruf tersebut. Semua orang sudah menyoraki gue dengan berteriak "Yes! Yes! Yes!" Gue melihat sekeliling area tempat ini. Hampir semua orang sudah siap dengan handphone-nya untuk merekam momen ini. Tiba-tiba pandangan gue jatuh kepada seorang lelaki yang sepertinya baru saja datang. Gue melihat dia membawakan sebuah kotak berukuran medium bewarna kuning, warna favorit gue, dan sebuket bunga. Dia tersenyum melihat gue, tapi gue justru merasa kasihan melihat dia datang kesini dengan hadiah yang sudah disiapkan sepenuh hatinya berharap gue akan merasa senang akan kadonya. Semua memori tentang Daniel selama lima tahun belakangan ini tiba-tiba datang begitu saja di pikiran gue. Tentang hari-hari yang gue lewatin bersamanya, dan kejadian saat itu. Dan untuk pertama kalinya, gue sama sekali gak menyesal telah mengenal dia.
"Kinan?" Lamunan gue buyar ketika Ardhan memanggil. Gue baru ingat bahwa gue belum meberikan jawaban atas pertanyaannya itu. Gue menarik Ardhan dari posisi berlutunya dan memegang tangannya. Gue menghela napas, "Aku gak tau, Ar." Gue meninggalkan Ardhan serta teman-teman lainnya dumbfounded. Gue mengambil tas dan berlari ke pintu masuk untuk pergi dari tempat ini saat itu juga. Gue sempat berpapasan dengan Daniel di depan, dia ingin memberikan hadiahnya ke gue, tapi gue hanya menatapnya nanar dan terus berjalan menuju pintu keluar.
**
"Kinan? Mama boleh masuk?" Gue mempersilahkan nyokap masuk dan beliau langsung duduk di sebelah gue. Setelah kejadian itu, gue pulang ke rumah. Rumah. Bukan apartemen. Saat gue sampai di rumah pun Mama, Papa, dan Bram sempat bingung kenapa tiba-tiba gue pulang di hari kerja dan terlebih lagi pulang tanpa memberi kabar.
"Ada apa, Ma?"
"Ardhan cerita sama mama......" nyokap gue tahu, nyokap gue....tahu "Mama bingung. Kamu kan sama Ardhan udah tiga tahun pacaran, dan sudah tahu kekurangan masing-masing dari tinggal bersama sewaktu di London. Apa yang bikin kamu ragu sama dia?"