Gue menyetir ke rumah Ardhan dengan perasaan tidak karuan. Bisa kan bayangin gimana rasanya ketika lo mau nolak lamaran dari seorang cowok yang udah lo pacarin tiga tahun lebih dengan alasan lo ternyata masih suka sama temen kuliah? I can't. Gue gak bisa membayangkan gimana marahnya? atau sedihnya Ardhan nanti, karena Ardhan orangnya susah ditebak.
"Ardhan." Gue berdiri di depan pintu rumahnya. Untung saja tadi di depan ada mba yuti yang lagi ngobrol sama tetangga, setelah melihat gue – ia langsung memperbolehkan gue buat masuk rumah. Jadi gue gak perlu jadi tontonan semua orang kalau misalnya kita bakalan ada acarah marah-marahan ataupun nangis-nangisan kayak di film-film.
"Kinan? Tumben kamu ke rumah gak bilang. Ada apa?" Tanya Ardhan yang lagI nonton di ruang TV sambil nyemilin keripik kentang. Baru sehari setelah insiden ulang tahun dan gue bisa melihat kantong matanya yang berwarna hitam dan ke bawah banget. Ardhan yang gue tau gak pernah kantong matanya separah ini, kecuali waktu dia mau ujian buat mastersnya. Ardhan itu gampang tidur dimana-mana, jadinya kantong matanya gak akan kayak gini bentuknya kalo lagi capek dan sibuk. Maaf Ar, gara-gara aku, kamu hidupnya gak tenang dan gabisa tidur.
"You know why I'm here." I pull out my courage to answer his question. Ardhan terdiam seseaat sambil memandang gue. Gue yakin dia belom siap menghadapi dan mendengarkan apa yang ingin gue katakan.
"Kita duduk dulu yuk." Gue mengajak Ardhan untuk kembali duduk di sofa. Beruntung, rumah hari ini sepi. Kata Mbak Yuti tadi, orang tuanya Ardhan lagi ke Bandung buat acara pernikahan anak kerabatnya jadi cuma ada Ardhan di rumah. Gue tidak bisa membayangkan kalau harus ngomong ini di depan bunda dan ayahnya Ardhan. Gue yakin gue gak bakalan bisa pulang aman malam ini, mata gue akan bengkak karena nangis terus-terusan dan suara akan serak. Karena gue sudah menganggap orang tua Ardhan itu, ya orang tua gue juga.
"First, let me tell you how sorry i was. I didn't know what to think that time, my mind totally went blank. I could not even think. We've been together for four years now and I do...sometimes thinking about the future of us, making a family together and spend our lives together. It just.....i'm sorry that I could not answer that day...."
"Jadi jawaban kamu atas pertanyaan aku apa, Nan?" Ardhan memotong pembicaraan gue dengan cepat.
Gue menghela nafas untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawab pertanyaannya, "Maaf, Ardhan. Aku gak bisa." There you go, my answer. Not in million years, i would deny a marriage proposal.I thought I would be really happy when my boyfriend whom I've been living together for years, finally asking me to get married with him – but then, I remember sometimes reality could be different from what we imagined.
"Nan? Kamu bisa kasih tahu alasannya? I'm not going to let you walk away just because you said no. I need an explanation." Ardhan duduk mengajak gue duduk di kursi di depan rumahnya, "We've been together for four years, that's a lot of time. If you think it's because we don't have any problems, that's totally bullshit. Tell me the truth why you said no. Gak cuma cewek aja yang butuh kepastian, cowok juga, Nan."
"I've been lying about my university life. I told you that I didn't like anybody back then — that I only have been studying hard for three years. When actually it's not. There was a guy I liked. We lived in the same halls and grew closer. Aku suka sama dia dan bener-bener sayang banget, meskipun dia sendiri udah punya cewek. Long story short, there was a problem with our friendship that we didn't even think of we had. We grew apart until we met again, this year."
"Who's that lucky bastard?" Ardhan bertanya dengan nada agak sedikit tinggi. Gue rasa dia sangat tidak sabaran untuk mendengar siapa orang yang beruntung tersebut.
Gue mencoba untuk menjelaskan lagi, "When we first met after I don't know how many years, I did not have any intentions to get closwer with him anymore. The universe works otherwise, we worked together and grow closer once again....."