November, 2016
Sebulan setelah Daniel mengajak gue menonton the script dan berakhir mencampakkan gue untuk Allisja, membuat gue sedikit menjaga jarak dengannya. Yang rencana awalnya pas konser tersebut mau memulai perkodean agar dia peka sedikit terhadap perasaan gue ini, tetapi berakhirnya gak kejadian sama sekali. Setelah kejadian itu, gue lebih baik menghabiskan hari-hari dengan hal yang berguna aja deh. Selama ini gue sadar bahwa gue tidak begitu aktif di kegiatan perkampusan. Akhirnya, gue mulai daftar society* yang gue inginkan dari dulu tapi gak kesampean. Dari mulai ikutan kickboxing, lalu mendaftarkan diri gue menjadi bagian dari university's representative* hingga volunteer sekaligus kerja paruh waktu di took cancer di kota. Dengan bertambahnya jadwal kegiatan, membuat gue juga harus membagi-bagi waktu untuk ngerjain segala tugas yang dikasih. Hal itu, akhirnya membuat gue jarang banget ketemu Daniel lagi, entah dia yang sibuk juga ngerjain tugas, atau gue yang sering pulang tengah malem buat nyelesain semua tugas di library.
Hanya weekend yang benar-benar sepenuhnya hari kosong buat gue. Enggak juga sih sebenarnya. Hari Minggu siang biasanya gue bantuin gereja untuk ngehitungin kolekte sehabis misa, lalu balik pulang dan tidur siang sampai semaunya gue. Gue sangat menghindari yang namanya tugas di hari Sabtu dan Minggu, karena dua hari itu adalah dimana gue ingin bersantai-santai tanpa beban. Biasanya kalau Sabtu, kerjaan gue cuma berleha-leha di kamar dan menikmati me-time. Antara catchup semua tontonan series yang gue ikutin di Netflix atau skype sama mama, papa, dan Kenzo. Dan juga Sabtu pagi, gue membiasakan diri buat lari-lari pagi ngelilingin kampus biar badan gue gak gampang nge-drop. Baru gue keluar dari kamar, gue menemukan Daniel juga keluar dari kamarnya. "Nan!" sapanya. Dilihat dari bajunya ini anak pasti mau jogging juga. Dia mempersilahkan gue untuk jalan duluan. "Mau jogging juga?" Tanyanya saat kita berdua sudah ada di lift buat turun kebawah. Gue mengangguk pelan. Saat pintu lift kebuka, "Yuk!" ucapnya. Akhirnya kami berdua jogging bareng-bareng. Gak ada kata-kata yang terucap dari kami berdua. Mungkin kita-kita sama fokus kali ya sama lari jadi bingung mau ngomong apa. Selama gue berlari beriringan dengan Daniel juga gue baru merasakan bahwa sepertinya perasaan gue semakin lama semakin memudar.
"Danik...." Sapa gue. Daniel menolehkan mukannya ke gue, "Kok tumben jogging pagi-pagi? Biasanya juga sore?"
Daniel hanya tertawa melihat raut wajah gue yang kebingungan, "karena gue tahu lo bakalan jogging sabtu pagi"
"Eh?"
"Udah lama kita gak ngomong panjang lebar, as in gue udah jarang banget ketemu lo. Kangen deh...."
Gue menghentikan langkah gue detik itu juga. Gue gatau apakah Daniel lagi bercanda apa beneran karena melihat raut mukanya yang cuma senyum-senyum aja membuat gue bingung menebak apa yang ada di pikirannya.
"Boong ya lo." Cuma tiga kata itu aja yang bisa gue sebutin. Gue mau menganggap perkataannya serius tapi nanti kalau dia cuma bercanda kan yang malu gue, jadi gue cuma membalas dengan pernyataan yang ambigu.
"No, I'm being serious. Setelah berminggu-minggu kita jarang komunikasi, gue jadi merasa gue beneran kehilangan lo. Dan gatau kenapa gue baru nyadar kalo gue suka sama lo, Kinanthi...." Gue beneran speechless mendengar confessionsnya Daniel ini. Nih anak bisa aja dah bikin jantungan pagi-pagi. Dalam hitungan detik, Daniel berjalan ke arah gue dan menarik badan gue seakan dia ingin mencium gue......dan gue pun saat itu hanya cuma bisa pasrah. Gue mengikuti apa yang Daniel inginkan......
"Kring! Kring! Kring!"
Gue terbangun dan seketika melihat jam gue yang sepertinya berbunyi. Ah bangke ternyata cuma mimpi. Gue mendenggus kesal. Kenapa hal-hal bahagia belum kejadian sama gue sih. Udah sebulan ini banyak banget hal-hal yang ga enak dialami sama gue. Dari telat liat deadline tugas, membuat gue kehilangan 10% dari nilai essay, lalu group project yang kedapetan sama anak-anak yang gak mau inisiatif duluan dan berujung gue harus kasih tau ini itu, sampai satu jam sebelum presentasi, dan terlebih si Daniel yang ngajak nonton konser. That concert could be my stress-reliever, but it turned out as a nightmare. Mungkin bulan Oktober memang bukan bulan gue banget ya.