Chapter 2

6.2K 971 89
                                    

Di atas selimut yang menyelubungi sebagian ranjang, Jimin merebahkan punggung sempitnya ke dinding kamar. Matanya tak luput memindai. Sedari tadi, orang asing di hadapannya itu kerap menggigiti kuku jarinya sendiri. 

Lampu masih padam dan agaknya sang penyusup telah menentukan nasibnya malam ini. Menginap atau terjun dari jendela gedung.

Jungkook mencuri pandang. Tepat 60 menit keduanya larut dalam kebisuan. Satu di antaranya sibuk bergelut dengan kebingungan, sedang lainnya khidmat menelanjangi si penyusup dengan kedua manik birunya yang elok.

“Ehem-ehem” Jungkook berdeham. Bergegas ia menanggalkan kupluk dan jaket hitamnya yang terasa memanggang tubuh dan surai gelapnya. ‘Oh ayolah! Katakan sesuatu Jeon Jungkook!’ batin Jungkook jengkel.

“Nona… apa… kau… tidak ingin mengatakan sepatah kata pun padaku?”

Diam. Bibir tebal itu terkatup rapat. Hanya sorotnya yang teduh menenangkan yang terus berpusat pada Jungkook---yang sesekali berkedip lembut.

Jungkook menggigit bibir. Menunggu dan termangu. Keduanya pun bertukar pandang. Kala itu, cahaya bulan merambat masuk melalui kaca jendela. Dengan perlahan, sinarnya melumat Jungkook yang terbalut kaus oblong putih berlengan pendek. Tubuhnya yang kekar, otot bisepnya yang mekar, kulitnya yang putih serta bulatan matanya tampak jernih memantul terang, berkilauan.

Untuk pertama kalinya, Jimin terkunci, enggan berpaling. Manusia di hadapannya itu indah. Sangat indah. Terlalu indah.

Jungkook sadar, kebisuan ini harus segera diakhiri. Ia bangkit menghampiri Jimin. Lambat-lambat, tanpa melepas tautan mata mereka, ia menilik wajah cantik Jimin yang memojok di sudut itu.

Dekat sekali. Hingga jarak di antara mereka nyaris terpupus.

Pupil netra biru itu membesar. Tiba-tiba ada sesuatu yang bergemuruh di hati Jeon Jungkook. Sesuatu yang kuat yang tak sanggup ia tampik. Sesuatu yang menggetarkan jiwa dan raganya. ‘Gadis ini…’  

Jungkook menarik Jimin keluar dari sisi gelap ruangan, hingga keduanya berdiri bersinggungan. Berhadapan bermandikan cahaya rembulan. Entah apa yang telah merasuki mereka, mereka mendadak hanyut dalam rasa yang tak terkatakan.

Jimin meremas genggaman tangan yang hendak Jungkook lepaskan. Dalam kesunyian bermakna itu, ia menangkup kedua tangan Jungkook sembari memejamkan matanya.

Dan tanpa Jungkook sangka, titik-titik bercahaya muncul berterbangan di sekitar mereka. Mengitari sekeliling mereka, melayang-layang, mengapung-apung, berkelip-kelip di udara. Jungkook terkejut heran, titik-titik itu berkumpul menjadi satu di kedua tangannya. Kemudian meresap masuk melalui pori-pori kulit, menyembuhkan goresan-goresan luka yang ada di sana.

Jungkook mengalihkan pandangan, mengamati wajah damai itu. Terpukau. Sosok di hadapannya ini nyatanya adalah rahasia terbesar professor Kim Namjoon. Ia disembunyikan. Ia diisolasi. Karena ia… adalah sang penyembuh, resep sesungguhnya dari antipenuaan professor-nya selama ini.

Laun-laun kelopak mata yang menggaris itu terbuka. Titik-titik cahaya pun telah lenyap. Ia memandang Jungkook dan tersenyum tulus.

“Siapa kau? Makhluk apa kau ini?” todong Jungkook.

Mendengar pertanyaan itu, Jimin menggulirkan dua maniknya ke bawah, menjatuhkan tangkupan tangannya dari punggung tangan Jeon Jungkook. Dan segurat kekecewaan pun tercetak dari wajah manisnya.

“A’ a… tidak… nona… bukan begitu maksudku… terima kasih. Terima kasih. Terima kasih karena telah menyembuhkan lukaku.”

*

Pemilik surai pirang model batok itu menulis sesuatu di secarik kertas gambar. Jungkook memerhatikan dengan seksama.

“JI-MIN … Nona ingin aku memanggilku dengan nama itu?”

Jimin mengangguk lantas balik menawarkan pensilnya pada Jungkook.

“Oh! Namaku?” Jungkook meraih pensil dan menuliskan namanya di kertas itu dengan huruf kapital yang besar. “JUNG-KOOK, namaku Jungkook.” ujarnya seraya menepuk dada.

Jimin tersenyum manis.

“Jimin… sejak kapan kau tinggal di sini? Dari mana kau berasal? Ini mungkin sangat tidak sopan, tetapi kupikir kehadiranku di sini juga sudah mewakili kelancanganku… jadi aku akan sekalian saja bertanya, sebenarnya… apa hubunganmu dengan professor? Apa selama ini kau dikurung?”

Jimin meraih kertas baru. Kali ini ia menulis kalimat yang cukup panjang.

‘SEJAK AKU KECIL, AKU SUDAH TINGGAL BERSAMA DADDY. DIA MENGATAKAN JIKA DUNIA LUAR SANGAT BERBAHAYA. DIA SANGAT MENYAYANGIKU JADI AKU TIDAK BOLEH KE LUAR DARI KAMARKU.’ tulis Jimin.

“Sejak kecil?” Jungkook mengernyit.

(“Professor, apa ada seseorang di kamar itu?”)

(“Itu mungkin peliharaanku. Aku menemukannya saat ia bayi dan aku merawatnya sampai sekarang. Jangan khawatir, itu tidak berbahaya. Aku hanya keberatan untuk menunjukkannya padamu.”)

Penyusup itu termenung. Ia sudah tahu segalanya tak kurang dari 24 jam. Luar biasa! “Kurasa tidak ada orang yang begitu penasarannya terhadap sesuatu selain aku.” gumam Jungkook bangga.

“Jiminie… apa kau penasaran juga? Jadi bisa disimpulkan, kau tidak pernah tahu bagaimana keadaan dunia di luar kamar ini, benar begitu?”

Jimin mengangguk mengiyakan.

“Sebenarnya tidak se-berbahaya itu… Sebagai tanda ucapan terimakasihku… aku akan membawakan dunia luar itu padamu. Aku akan membawakannya untukmu… seperti ini…” Jungkook menyodorkan kedua telapak tangannya yang direntangkan.

Jemari kecil Jimin terulur, tanpa aba-aba ia menempelkan telapak tangan kirinya ke sisi muka Jungkook, mengusap pelan pipi Jungkook dengan ibu jarinya. Mata Jungkook membelalak, ia menyaksikan buliran bening jatuh dari pelupuk itu, mengalir turun ke pipi halus yang ada di hadapannya. Seorang Jimin, tersenyum haru dalam tangisannya.

*

Waktu semakin larut. Jungkook tahu ia tidak akan memiliki kesempatan untuk lari jika matahari sudah terbit, namun ia pun tak tega membangunkan sosok yang tidur menekuk di sisinya—yang menggenggam tangannya dengan erat.

“Tak bisa kupercaya. Tiba-tiba aku bermalam di kamar seorang gadis yang dipingit ayahnya.” Jungkook menatap Jimin lembut. “Mengapa professor memotong rambutnya sependek ini? Bukankah lebih cantik lagi jika rambutnya dipanjangkan?” Bibir tipis Jungkook mengembang, “Dia seperti anak kucing yang tertidur.”

Jimin menengadahkan kepala menatap Jungkook, ternyata ia mendengar semua celotehan penyusup itu tentang dirinya.

“Eh! Jimin tidak tidur?”

Jimin mendudukan diri, lalu bangun melangkah gontai melewati Jungkook. Digapainya kertas gambar yang tertumpuk di meja, menuliskan sesuatu lagi.

‘JUNGKOOK HARUS PERGI! DADDY AKAN MARAH JIKA TAHU JUNGKOOK DI SINI.’

“Eum!” seru Jungkook membenarkan. “Karena itulah… Jiminie! Apa kau tahu jalan tercepat ke luar dari sini?”

Jimin menunjuk ke arah jendela.

“Sepertinya tidak mungkin, tali tambangku hilang. Hmm…” Jungkook memutar bola matanya berpencar ke seluruh petak kamar, begitu pula sosok pendek di sampingnya.

Hingga netra biru Jimin terhenti di sebuah lubang ventilasi di sudut langit-langit kamarnya.

*

Dengan sumringah, pada jarak itu, Jeon Jungkook melompat-lompat melambaikan tangan. Sang penyusup berhasil ke luar dengan selamat. Ia menatap ke jendela, ke lantai paling atas gedung laboratorium yang menyembunyikan segudang rahasia.

Jimin mendaratkan tangannya ke kaca jendela, membalas lambaian itu. Mata birunya menghilang ditelan senyum bahagianya. Jimin berharap manusia indah itu akan menepati janji yang telah ia ucapkan.

“Jiminie… tunggu aku, aku akan membawakan dunia luar ini padamu… segera…” bisik Jungkook.

TBC

Sedikit-sedikit ngirimnya. Ha ha ha.

JIMIN BOOK I (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang