Chapter 13

2.7K 481 85
                                    

Sebulan kemudian.

Pemuda itu perlahan menggerakan tubuhnya yang ringkih. Kaus putihnya tampak longgar, menenggelamkan sebagian lengkung badannya yang kian mengurus. Sekitaran matanya menghitam dan cekung. Ia seringkali menolak makanan yang ditawarkan tuan Kim, ia cenderung pemilih. Buah-buahan di pohon atau makanan kesukaannya saja yang mau ia telan. Selebihnya, ia abaikan.

Jimin lebih banyak menghabiskan waktu meringkuk dan bergelung di dalam selimut. Atau melamun, menatap ke langit-langit, terisak, hingga air matanya mengering  menyebut-nyebut nama Jungkook. Itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan kenangannya bersama Jungkook. Meyakinkan jika sebulan lalu adalah nyata. Petualangan itu... Sentuhan itu... Deru napas itu... Semuanya.

"Jimin-ah... "

Dan di sanalah Jimin biasa mendapati bayangan Jungkook. Bersila di tengah ruangan seraya menepuk-nepuk pahanya, dengan seulas senyum serta maniknya yang mengerjap, memintanya duduk di atas pangkuan--yang tampak hangat dan kokoh-- menawarkan kenyamanan dari kedua tubuh yang bergesekan.

Ia menunggu. Menanti. Berkubang pada harapan jika Jungkook akan kembali muncul di lubang ventilasi itu. Mengulurkan tangannya dan mendekapnya erat. Menghujaninya dengan ciuman kerinduan, mendesahkan namanya berulang-ulang, membisikan kalimat menggoda yang membuatnya, menggelinjang.

Namun sepertinya itu, hanyalah ilusi.

***

"Kau yakin, Jungkook?"

"Yah. Kenalkan aku dengan gadis-gadis itu."

"Kau pasti bercanda. Semuanya tidak akan bisa kau kenali dalam satu malam saja."

"Kalau begitu, aturlah untukku. Mungkin kau bisa membuat jadwalnya dalam satu minggu. Hari Senin dengan nona A, Selasa dengan nona B, Rabu dengan nona C. Aku bersedia melakukannya."

"Hei, hei,, ini tidak seperti dirimu. Sejak kapan kau tertarik dengan acara kencan buta seperti ini? Apa kau sedang mencari pelarian?"

Jungkook terdiam sesaat, mengamati para pemain basket bersimbah keringat yang tengah berlatih di ruang olahraga tertutup itu, "Aku hanya ingin hidupku kembali normal." gumamnya.

Ya. Normal. Sejak satu bulan setelah kejadian itu, Jungkook selalu terjaga. Wajah memelas Jimin terus menghantuinya. Mimpi-mimpi yang berkaitan dengan Jimin terus mendatanginya. Dari jenis mimpi indah, nakal, romantis, sampai mimpi paling buruk. Jimin seorang laki-laki, Jungkook harus menghentikan perasaan ini. Setidaknya mengurangi obsesinya pada Jimin. Ia ingin bertemu dengan Jimin, tapi tidak sekarang. Sampai saatnya tiba Jungkook harus siap menerangkan, jika hubungan mereka tidak bisa lebih dari teman. Itu pun, jika takdir bersedia mempertemukan mereka kembali.

"Apa? Lalu bagaimana dengan gadis yang kukenalkan kemarin? Kau tahu, dia manis dan lucu, wawasannya juga luas, dia bisa membantumu mengerjakan tugas-tugas kuliah, terlebih lagi penampilannya tidak pernah mengecewakan. Seksi dan modis. Tapi kau bahkan bersikap dingin padanya."

"Aku tidak tertarik."

"Bagaimana dengan Park Haena?"

"Lupakan saja."

"Lee Bona? Eun Sai? Soyoung? Bora Sistar? Suzy Miss A? IU eonni? Lisa Blackpink? Jisoo blackpink? Rose blackpink?"

Jungkook menatap teman sebayanya. Laki-laki yang dipanggil Yeogyeom mengendikkan bahu dan terkekeh.

"Hah? Kalau begitu, kau suka gadis yang seperti apa? Katakan padaku, siapa tahu aku bisa mencarikannya untukmu."

Jungkook menengadah menyandarkan kepalanya ke dinding, memejamkan mata. Sakit. Masih terasa sakit di ulu hatinya.

JIMIN BOOK I (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang