Chapter 4

5.1K 806 48
                                    

*
*
*

Jimin menyesap susu panas di genggamannya. Kelingking mungilnya menunjuk ke atas, sedang jemari lainnya melingkar di telinga gelas. Bola matanya bergerak perlahan, menyusuri huruf-huruf besar yang tercetak tebal di lembaran salah satu buku---yang professor Namjoon berikan padanya tempo lalu.

Ia biasa menikmati momen itu. Momen di mana segalanya tergambar jelas ketika ia membaca kata perkata dari buku-buku yang Kim Namjoon sediakan untuknya. Tentang hewan, pepohonan, bau rumput, bunga liar, aliran sungai, udara, bumi, langit dan bintang-bintang. Semua yang pernah ditemuinya sewaktu kecil. Juga hal-hal lainnya yang membahayakan dari alam.

Tapi malam ini bacaan itu tidak terlalu menarik perhatiannya lagi. Ia menutup bukunya. Setelah segelas susu itu tandas tak bersisa, ia beringsut sedikit dari alas duduk, menggapai selembar kertas gambar di laci dekat tempat tidurnya dan mengamatinya. Pupil birunya membesar. Seputaran dadanya menghangat.

Jungkook...

Sungguh, ia lebih menarik dari apapun yang pernah Jimin temui dalam hidupnya. Selain Kim Nam Joon, tak pernah ada lagi seseorang yang berbicara padanya. Jimin takut didekati oleh orang-orang. Ia takut, ia akan diburu, dirantai dan dibunuh.

Namun, kedatangan Jungkook padanya hari itu, seperti menggeser keyakinannya selama ini. Jimin… anak terasing itu… telah berbicara dengan orang asing, meski lewat pena yang ia torehkan di selembar kertas ukuran A4. Dan ia baik-baik saja.

Tidak. Jimin tidak baik-baik saja. Pemuda itu telah melakukan sesuatu padanya---dan Jimin masih belum mengerti. Yang ia tahu, ia berharap Jungkook menemuinya lagi di kamar ini.

‘Dug! Dug! Seeengg!’

Pemilik mata yang menggaris panjang itu membelalak lebar ke arah langit-langit kamar. ‘Apa itu?’ Jimin dengan kertas bergambar yang ia cengkeram tampak waspada menatap ventilasi segiempat yang tutupnya ditarik paksa ke atas oleh seseorang.

Anak itu menanti dengan mata yang menyipit tajam. Satu detik, dua detik, tiga detik, ia mendengar desahan seseorang membuang napas dan terbatuk …, lima detik….

“Sssssttt… Nona….” seorang pemuda muncul dari lubang itu seraya melambaikan tangan putihnya yang terkotori debu, “Hai…” sapanya.

Jantung Jimin berdegup kencang! Pemuda yang dinantikannnya itu kembali lagi.

*

Dengan cekatan Jimin menarik tali tambang yang menjuntai dari lubang ventilasi segera setelah Jungkook mendarat di lantai kamarnya. Ia menggulung dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Rona merah menyelubungi pipinya dan ia tak hentinya mengulum senyum. Sungguh Jimin tak mampu menahan kegembiraan yang mendadak meluap-luap itu. Rasanya jantung kecilnya akan meledak sekarang.

“Nona …” panggil Jungkook.

Nona? Jimin memiringkan kepalanya sedikit, mengerutkan dahi. Mengapa Jungkook selalu memanggilnya dengan nama itu? ‘Aku bukan nona, aku Jimin.’

“Nona …” Jungkook merendahkan wajahnya sejajar muka, “…nona sepertinya sangat menantikan kedatanganku…”

Jimin mengerjap. Mata yang besar. Lingkarannya bening seperti cermin cembung dengan warna hitam permata dan kelopaknya melengkung tajam ke bawah. Indah. Mata Jungkook sangat indah. Manik kembar itu, itulah yang ingin Jimin lihat lagi…dan lagi. 

Jimin berbalik, melangkah cepat melewati Jungkook dan duduk bersila di depan meja lipatnya. Ia meraih pensil warna hitam dan menambahkan goresan di lukisannya. Jungkook diam mengekori.

Dan setelah selesai, kertas gambar itu Jimin sodorkan pada Jungkook. Senyuman tulus terukir di bibir dan di kedua mata sipit Jimin. Bibir tebalnya bergerak tanpa suara, “…ini…Jungkook-ah…”

JIMIN BOOK I (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang