Chapter 9

3K 523 72
                                        

*
*
*
Tergeming. Jungkook reflek mencengkeram pundak di hadapannya memundurkan tubuh. "Jim..."

'Drrrrt--drrrtt--drrrt'

Getaran smartphone yang tergolek di sebelah ransel membuyarkan suasana. Kesempatan itu Jimin ambil dengan menarik tungkainya yang mengapit di tubuh Jungkook, menggapai smartphone---menyodorkannya. Bergegas ia melarikan dirinya jauh-jauh dari Jungkook ke sudut, duduk memeluk lututnya, menenggelamkan rasa panik, menggebu-gebu dan malu. 'Ugh, nyaris saja...'

"Halo? Hyung?"

"KEMANA SAJA KAU KAMPRET??!!! LIHAT SEKARANG PUKUL BERAPA?? KENAPA KAU BELUM PULANG? MAU MATI HAH?!!!"

"Aku memang sudah hampir mati tadi! Aku akan segera pulang!! Menyebalkan sekali di saat seperti ini."

"YAK!! AKU BISA MENDENGARMU!!"

"Iah-iah!! Tidak usah berteriak! Aku sedang dalam perjalanan!" (clek' tuuut---tuuut--tuuut)

Jungkook menutup telponnya, membuang napas berat, menyandarkan punggungnya ke dinding, menatap penuh pada Jimin. Ia melihat surai pirang yang dikelilingi kunang-kunang itu masih sibuk menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang terlipat.

Sorot Jungkook menghangat, "Jimin..., kau menyelamatkanku lagi. Terima kasih.  Jika saja aku tidak mendadak datang malam ini, mungkin kau tidak perlu menghabiskan banyak energimu untuk menyembuhkan dan menyembunyikanku. Maafkan aku... " sesalnya. "Tetapi, semakin hari aku malah semakin cepat merindukanmu, rasanya menyakitkan jika tidak segera melihat wajahmu. Aku tidak bisa menahannya." papar Jungkook terus terang.

"Sekarang, ada kakakku yang mengawasiku. Aku tidak bisa sebebas kemarin untuk bisa bertemu denganmu."

Jimin menaruh dagunya di kedua lututnya yang terlipat, matanya tertuju pada jari kakinya yang mungil.

"Dan lagi... Kau pun tampaknya semakin dijaga ketat oleh Professor. Apa dia tahu aku selalu mengunjungimu?"

Jimin menggeleng.

"Begitu yah?" Mata bening Jungkook menggulir ke arah jendela, ia pun melanjutkan "Tapi kurasa ia mengetahuinya, ia takut aku melukaimu. Jadi ia memasang perangkap itu agar aku jera dan tidak lagi mendekatimu... Bagaimana ini Jimin? Kurasa aku tidak bisa sering-sering mengunjungimu lagi."

'Grep'

Sekejap saja, Jimin sudah ada di hadapan Jungkook, menggenggam kedua tangannya erat. Halisnya turun dan dahinya mengkerut, gumpalan bibirnya menukik ke bawah. Dia terlihat imut dengan pipi yang mengembung.

"Haha, apa kau suka jika aku disetrum setiap aku mengunjungimu Jimin-ah?"

Jimin menunduk. Tidak. Ia tidak menyukainya sama sekali. Melihat Jungkook yang berdarah, terbakar, bergetar dan sekarat adalah saat-saat yang membuatnya sesak dan trauma. Seperti sebuah dejavu yang mengingatkannya pada ledakan mobil tuan Namjoon belasan tahun yang lalu. Tidak lagi. Tidak mau lagi. Tapi, sama seperti Jungkook, ia ingin melihat wajah indah itu. Lagi dan lagi.

"Jimin... Mungkin kau akan ditinggal sendirian selama prof. Namjoon menyelesaikan pekerjaannya di luar kota. Dan keparatnya aku pun tidak bisa menemanimu di waktu-waktu itu. Sungguh ini membuatku merasa tak berguna. Aku tidak ingin kau merasa kesepian."

Meski sejujurnya, Jungkooklah yang tak mampu membendung rasa sepinya tanpa melihat sosok dihadapannya ini. Ia pun membelai pipi Jimin yang lembut, "Malam ini, kau telah menyelamatkanku dari kematian. Kau memberiku hidup. Kau adalah kehidupanku. Diantara aliran darahku ada kekuatan milikmu. Sebagian dirimu ada pada diriku Jimin-ah, mungkin karena itulah aku tidak bisa jauh darimu."

JIMIN BOOK I (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang