2. Memulai Harapan

95 2 0
                                    

Sejatinya memang mengharapkan. Sudah lebih lama. Percayalah hanya saja aku bungkam. Seperti cerita di novel yang sering di baca, aku juga menginginkan bagaimana proses dan akhir dari inti cerita orang-orang didalamnya. Cukup terbuai bagaimana penulis begitu lihai menuliskan ide menarik disetiap lembaran yang terbuka, darinya aku mulai menjelajah kesetiap jengkal kisah dan mulai terhanyut di didalamnya.

Begitu pandai penulis menghipnotis pembaca. Jujur hal itu membuat ku sedikit membayangkan diriku seakan menjadi tokoh utama. Bisakah nanti aku juga hidup seperti didalam untaian kata itu?

Tapi aku seperti tak tahu bagaimana harus memulainya. Aku menyadari tak tahu mengapa ketakutan seaakan memperdaya dan mulai tak percaya diri.

Setiap cerita yang ku baca selalu menginspirasi tapi terkadang menghantamku. Bagaimana ia menilai perempuan nya nanti?

Kata orang jodoh cerminan diri, maka mulai lai memperbaiki diri. Aku berharap begitu namun belum juga mendekat kearah itu. Lalu kapan aku bisa mencapainya?

Teman-teman ku sering kali bercerita bahwa ia menaruh hati pada ini, ingin menikah diumur segini, ingin berumah tangga dengan cara ta'aruf dan sebagainya. Memang diumur yang sekarang lah waktu yang tepat untuk memikirkan masa depan. Tidak. Tapi bisa juga dimulai sekarang. Sudah banyak juga beberapa teman ku di Jerman yang memutuskan menikah di usia muda.

Aku tidak menginginkan secepat itu. Hanya berharap dan mempunyai target setelah lulus mungkin aku akan memikirkan hal itu.

Tapi setahun yang lalu aku pernah menulis surat entah kepada siapa, tapi memungkinkan bertujuan kepada pasangan ku kelak.

Hati telah di penuhi oleh pasangan jarak jauh ku. Kami hanya bisa berkomunikasi dengan cara kami masing-masing, saling mengirim pesan tanpa tahu alamat pastinya, hanya berharap sebuah jawaban manis disertakan nantinya.

Kukirimkan do'a terbaik ketika meminta kepada-Nya, memohon agar engkau disana juga melakukan aktivitas yang juga memberi manfaat dan di ridhoi-Nya, berharap juga disana engkau tidak dalam keadaan yang berbelok, selalu dalam tujuan yang sesuai syariat.

Apa yang bisa ku lakukan? Aku pun tak bisa menenangkan dikala engkau dalam kesedihan yang melanda, tak bisa memberikan sinar merah merona walau hanya dengan senyum dari wajah ku. Sungguh mengecewakan. Keinginan terus saja berlalu, perkataan semangat "aku disini untukmu" saja belum pernah sekali pun terucap.

Ketakutan terus saja menghantui ku jika nantinya engkau menyesal telah memilihku. Untuk sekarang aku bukan lah perempuan yang bisa dikategorikan menarik, cerdas, bersahaja, dalam ilmunya, lembut kepribadian serta berbagai kebaikan lainnya. Yang ku tahu aku hanya perempuan biasa yang mengharapkan kau memilih ku akan sebuah ketaatan pada tuhan dan orangtua ku.

Takut nanti nya aku bukan tipe idaman yang selalu engkau sebut dalam puisi- puisi mu yang bersahaja. Terkekang karena kepribadianku sekarang bukan lah seperti perempuan lain kebanyakan, mereka yang sangat taat pada wajib dan sunnah-Nya, mereka yang setiap hari mengucap kalimat penyejuk batin, apalagi mereka yang berparas cantik lagi mulia akhlaknya. Pengharapan ku setulusnya agar bisa belajar dan mencontoh kepribadian pada perempuan penghuni surga, sang perempuan pedoman dunia akhirat.

Mampukah aku?

Bisa kah nanti engkau memilihku karena kepribadian ku?

Apakah nanti engkau tidak meragukan ku?

Mampukah aku bertahan untuk perbaikan diri?

Aku nanti berharap engkau bisa melirik ku sebagai perempuan yang akhlakul karimah. Yang selalu menangis dalam balutan do'a akan nikmatnya dunia yang mampu meratakan bawa nafsunya.

Sanggupkah aku seperti mereka?

Bisa kah aku melewati prosesnya?

Apakah aku termasuk dari perempuan idaman mu nanti?

Saat ini hanya sebuah kepercayaan yang ku punya, sebelum senyum keihklasan itu kurajut dengan sempurna nantinya.

***

Aku termasuk orang yang belum pernah berpacaran sebelumnya, pernah menyukai seseorang hanya saja kagum semata tak lebih, terpesona akan sebuah prilaku.

"Salma salma. Kamu selalu bilang ini kagum, gak suka. Tapi tetap aja menurutku itu suka," salah satu ucapan yang sering diucapkan beberapa teman ku termasuk seseorang yang sedang berbicara dengan ku sekarang.

"Tapi kan aku gak mikirin dia. Hanya terpesona akan sebuah prilaku nya bukan wajahnya. Berarti itu namanya kagum dong" balasku tak mau kalah.

"Lah emang kalau orang suka harus dari wajah? Gak juga kali. Suka kan wajar udah fitrah manusia itu," teriaknya diseberang telepon.

"Iya tapi aku gak mau memulai. Pacaran juga gak baik kan apalagi sekarang kita yang udah kuliah. Kalau dulu waktu SMA mungkin suka itu wajar. Aku mau fokus dulu ke kuliah, ke kerjaan dan masa depan"

"Hellooo" seketika suaranya meninggi, "Nikah itu juga masa depan kali! Kalau bukan sekarang mikirin nya kapan lagi, mau nunggu umur diatas 25 baru bersiap-siap? kata ibu ku soal jodoh itu harus di do'akan dari usia muda. Kenapa? biar kita lebih mempersiapkan dari awal agar nanti kita gak tergesa- gesa. Kan bagus loh kita udah meminta sama Allah udah dari jauh hari lebih indah gitu,"

"Bener juga sih ya. Kalau aku dulu kepikiran do'a nya nanti aja kalau kita udah siap,"

"Mempersiapkan itu seumur hidup loh, selama pernikahan juga banyak hal yang kita pelajari. Jadi tidak ada salah nya berdo'a tentang jodoh itu dari sekarang agar kita juga termotivasi menjadi perempuan baik"

"Waah masya Allah makasih ya hum kamu benar-benar mengerti aku"

Namanya Humaira. Aku berkenalan dengannya waktu masih sama-sama kursus bahasa di Berlin. Kalau dihitung sudah hampir tiga tahun kami berkenalan dan bersahabat. Dia anaknya asik, suka ngobrol, banyak ngasih nasihat, pokoknya dia termasuk orang yang nggak bisa diam selalu suka bercerita.

Seperti malam ini kami sibuk membahas jodoh di telepon, sebenarnya tidak itu saja tapi juga membahas berbagai hal tentang kehidupan. Humaira juga sangat update akan orang-orang di jerman yang akan nikah.

"Sal ada berita baru loh. masih hangat," ujarnya bersemangat.

"Apa? pasti info tentang orang nikah kan?" Tawa ku pecah karena memang sudah tahu apa yang akan diinfokan sahabat ku itu.

"Yah kok tahu sih haha gak seru. Iya itu loh adik kelas kita mau nikah. Umurnya masih 20 cuy! Masya allah ya,"

"Masya Allah. Semoga dilancarkan ya hum. Terus ada lagi?"

"Tentu dong, ada dua lagi. Kamu gak bakalan nyangka teman seangkatan kita yang di Hamburg mau nikah juga ama anak indo di Kairo, terus kakak kelas kita yang dokter itu juga mau nikah ama dokter juga. Waah waah ngedengernya aja aku udah gak kuat. Ikut bahagia juga ya ngedengernya"

"Jangan baper ya!" Ujarku menggoda Humaira.

"Kamu yang baper. Liat noh muka mu aja memelas kayak orang sedih. Sabar ya Ali mu masih dijalan, jadi seperti Fatimah aja ya sekarang"

Ya itulah salah satu percakapan kami. Terkadang aku terhibur dengan sosok Humaira ini dan juga kagum. Dia selalu tampak ceria, mendengar kabar seperti itu saja dia ikut bahagia.

Aku mulai berpikir akan kah nanti jodoh itu datang di saat yang tepat? Saat aku sudah bisa mempersiapkan segalanya? Hingga pada akhirnya bisakah nanti aku bersandar pada hati yang tepat?

Seperti rindu yang tak akan pernah usai sampai nanti ada batas yang menghambat. Begitu pula hal nya jodoh yang terus kita harap kan tetapi entah siapa yang akan datang diujung penantian kita nanti nya.

Salma ( Rindu yang tak pernah usai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang