9. Pengajian

34 0 0
                                    

Pengajian bulanan kali ini diadain di rumahnya mbak Devi. Memang jika di perantauan khususnya Jerman sering diadakan pengajian setiap bulannya, di samping menambah ilmu keagamaan juga menjalin silaturarrahim antar masyarakat Indonesia yang jarang ditemui. Biasanya pengajian ini digabung antara laki-laki dan perempuan.

Aku sedang berada di dapur membantu tuan rumah mempersiapkan alat makan dan sebagainya yang dibutuhkan waktu makan nanti. Memang tuan rumahlah yang menyediakan semua makanan, namun biasanya ibu-ibu yang datang juga membawa masakan atau sekedar kue-kue kecil khas Indonesia.

"Sal ini tolong tarok di meja ya," ucap Mbak Lulu yang baru saja datang.

"Oke mbak," aku  mengeluarkan sekotak ayam  goreng cabe ijo dari dalam tas tentengan, melihatnya saja sudah membuat aku lapar, ditambah lagi mbak Lulu juga membuat risoles.

Dari dapur aku mendengar pengajian yang akan segera dimulai karena memang waktu yang ditentukan sudah terlewat sekitar sepuluh menit, hal yang tidak biasa bagi orang-orang yang disiplin waktu khususnya di Jerman yang tidak memaafkan budaya lelet. Tetapi karena satu dan lain halnya orang Indonesia maka sesekalipun tak apa.

Setelah selesai aku kembali ke ruang tengah, memang biasanya keluarga Indonesia yang akan menetap lama di Jerman menyewa rumah yang cukup besar atau bahkan membelinya. Untungnya rumah bermodel apartment untuk keluarga ini mempunyai ruang tamu yang sedikit lebih luas, menampung cukup banyak orang-orang yang butuh siraman rohani dan silaturrahim apalagi bagi mahasiwa yang jauh dari orangtua.

Kali ini cukup banyak mahasiswa yang hadir, ada yang  baru datang ke Jerman atau bahkan wajah-wajah lama. Kalau bapak-bapak dan ibu-ibu sendiri memang cukup banyak yang berdatangan membawa serta anak masing-masing.

Aku merinding ketika mendengar kata istiqamah oleh ustadz yang menyampaikan materi, kebetulan kali ini pengurus pengajian mengundang penceramah dari luar kota bahkan terkadang luar negara tetangga seperti Belanda, Belgia ataupun Perancis.

Melihat diriku yang terkadang masih suka menunda untuk beribadah, terkadang disaat bekerja aku sering telat menyelesaikan target bacaan Al-Qur'an ku. Ya Allah

Memang susah beristiqamah jika iman kita sedang berada dibawah, maksudnya kadang ada saat kita malas untuk menambah catatan amalan kita. Padahal sangat banyak cara untuk mendapatkannya jika kita ikhlas. Ikhlaslah yang menjadi kunci utama.

Aku tak sadar bahwa dari tadi ada yang menyingkut lenganku, dan aku lihat sekeliling orang-orang tertawa melihat kearahku. Aku menatap Fira disampingku yang tersenyum. Ada apa ini? Mengapa mereka melihatku seperti itu?

Aku meminta jawaban ke Fira yang cengengesan. "Tadi tu ustadznya kan bahas soal istiqamah, lalu materinya nyambung bahas masalah jodoh untuk para single yang sedang berikhtiar mendapatkan pasangan hidup. Eh tiba-tiba tante Asti nanya, "emang pak ustadz udah menikah? Kelihatannya kok masih muda banget?" katanya. Lalu pak ustadznya bilang belum. Do'akan sebentar lagi."

"Terus anehnya dimana?"

"Nah Bu Retno nimbrung nanyain ke ustadz mau dijodohin gak sama wanita solehah yang di Jerman, lah ustadz cuman senyum-senyum doang. Terus orang-orang pada nunjuk ke arah kamu yang lagi ngelamun ngeliat kedepan."

"Terus?" Aku masih belum mengerti letak lucunya dimana.

"Ya ternyata pak ustadznya akan segera menikah bulan depan. Terus orang-orang merasa bersalah sekaligus terharu melihat kamu yang melamun sedih."

Terus terang saja aku langsung menutup muka malu, yaiyalah gimana gak malu dilihatin segini banyak orang. Ini kerjaannya siapa lagi nunjuk-nunjuk kan aku belum bilang apa-apa kalau mau nikah. Salah aku juga sih melamun, gara-gara pesan Yasmin kemarin aku jadi banyan hilang fokus.

"Sabar ya Sal. Jodoh yang sholeh masih banyak," kata Pak Wawan, suami tante Retno. Lagi-lagi jangan lihat kearahku yang mukanya mulai memerah menanggung malu.

Salma ( Rindu yang tak pernah usai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang