8. Suka tapi Benci

2K 153 3
                                    

"Aku suka, tapi benci."

•••

Rafa merasa suntuk berada di kamar sejak pulang sekolah. Ia memutuskan untuk menonton sebentar guna refreshing. Setidaknya ia bisa melupakan kejadian tadi. Rafa duduk di depan televisi. Tangannya sibuk mengotak-atik remot mencari siaran yang menarik.

"Ah, nggak ada yang seru!" Keluh Rafa membuang napas. Ia menyandar ke sofa berwarna oranye.

"Rafa!" terdengar suara dari arah belakang. Luna, pemilik suara itu yang tak lain adalah mamanya.

Rafa memutar badannya, "Kenapa, Ma?"

Wanita itu mendekat lalu duduk di sebelah Rafa. "Kamu nggak belajar?!" Pertanyaan itu bernada perintah.

"Bentar lagi, Ma."

Mama mengangkat sebelah alis, "Kamu ingat ya, Mama banting tulang sekolahin kamu supaya sukses, bisa merubah nasib kita. Jadi kamu jangan santai kayak gini!" Ucapan itu begitu menusuk.

Rafa mengangguk, "Rafa mau ke kamar dulu." Pamitnya lalu pergi.

Gadis itu merasa hidupnya begitu monoton. Ia ingin keluar dari zona nyamannya, namun ia tidak memiliki kesempatan. Sekali saja, nihil baginya. Sejak kecil, ia dituntut untuk disiplin. Positif memang. Tapi, we are not a robot! Kita punya warna sendiri untuk hidup kita. Kita punya hak atas itu. Kemana arah dan jalan hidup kita yang menentukan sendiri. Tidak ada yang ingin dikekang, bahkan seekor burung dalam sangkar sekalipun. Meskipun burung itu dirawat dengan baik, ia berhak bebas.

Rafa menutup pintu lalu duduk di tepi kasur. Matanya melirik sekilas ke arah meja belajar yang tertata rapi. Kumpulan buku berbagai ukuran berwarna-warni berbaris di rak setinggi satu setengah meter, sebelah meja belajar. Ia menghela napas berat. Bosan. Entah sudah berapa kali ia membaca ulang buku-buku itu sampai-sampai ia nyaris hafal.

Gadis itu begitu membenci kehidupannya yang kaku.

Ia berjalan menuju nakas dan mengambil laptop yang setahun belakangan menjadi teman barunya. Benda itu adalah laptopnya yang ketiga setelah dua lainnya rusak karena terlalu sering digunakan. Seharian, Rafa bergelut dengan laptop, entah itu menulis atau menonton. Hanya itu satu-satunya hiburan sebelum akhirnya ia diperbolehkan untuk menggunakan ponsel.

Jemarinya dengan lihai bermain di atas tombol berbentuk segi empat. Berlarian dari satu tombol ke tombol lain. Berkejaran.

Rafa hobi menulis. Tidak ada yang tahu soal ini. Sang Mama? Jangan sampai berita ini sampai ke telinga beliau.

Aku suka hitam, tapi aku benci gelap

Aku suka bintang, tapi aku benci malam

Aku suka laut, tapi aku benci karang

Aku suka sunyi, tapi aku benci diam

Aku suka, tapi aku benci

"Aku suka, tapi benci." Decaknya sambil mengetik kalimat itu sebagai judul dalam puisinya.

📷📷📷

"Ra, lo udah ngerjain Fisika belom?" Tanya Manda yang panik seperti pedagang asongan yang terjaring razia.

"Udah," Rafa tersenyum. "Mau liat?" Tanyanya menawarkan.

"Aduh, kalo dipaksa ya udah deh." Manda tersenyum simpul sambil meraih buku bersampul jingga.

"Gue mah orangnya peka, nggak kayak...," Rafa mengangkat sebelah alisnya.

Lensa Argan✔[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang