"Btw, gimana drama kemarin?" Tanya Sherin sambil mengeluarkan payung biru kotak-kotak dari ranselnya. Benda itu seolah sangat berharga di bulan-bulan penghujan seperti sekarang.
"Seru banget!" Ujar Maurin dengan nada bersemangat. Udara siang itu terasa menusuk kulit, sampai-sampai gadis ini memeluk buku paket Sejarah tebalnya, mencari kehangatan.
Angin disertai butiran air menerpa wajah Rafa. Sesekali ia mengusap pipi bekunya. "Lo gak hadir sih kemaren, seru banget tau! Gue aja sampe ngakak!" Sambut Rafa tak kalah antusias.
Sherin hanya mengangguk pelan sambil membayangkan keseruan yang tengah dideskripsikan oleh temannya itu.
"Apalagi pas drama si Alsa sama gerombolannya. Sumpah! Ngakak abis! Hahaha." Ayu, gadis yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya akhirnya ikut menimpali. Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak mengingat drama humor kemarin. Sedangkan Sherin hanya bisa melihat kebahagiaan itu dalam imajinasi, tanpa merasakan.
Sherin meremas payungnya. "Ih, rugi banget ya gue gak dateng." Keluhnya.
Seketika tawa itu berhenti. Mereka bertiga saling menatap wajah murung Sherin bergantian. "Sabar mbak eee." Seru Rafa diselingi tawa jahil.
"Nelpon siapa sih Ayu? Sibuk amat kayak artis aja." Sergap Maurin yang sejak tadi mengamati Ayu.
Orang yang ditanyai itu segera menjawab, "Gue lagi nelpon temen, malah gak diangkat lagi!"
Jarak antara butiran hujan semakin rapat, pun angin yang semakin kencang berhembus. Beberapa siswa memenuhi teras depan gedung utama. Di sanalah mereka berempat -- Rafa, Sherin, Maurin, dan Ayu-- menunggu reda.
"Astaghfirullah gue lupa!" Sherin menepuk dahinya. "Gue mau uh kimia susulan," Gadis berkacamata itu melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul tiga sore.
"Uh dimana?" Tanya Rafa.
"Labor kimia," Sherin mengembangkan payungnya. "Gue duluan ya, bye."
"Bye!"
Maurin membuang napas sebal, "Kapan mau berhentinya nih?"
"Bakal lama kayaknya deh,"
"Seriusan diantara kita bertiga kagak ada yang bawa payung?" Maurin mengernyit samar. "Bisa kena kutu air gue karena kelamaan di sini,"
"Ya gimana lagi," Ayu mengangkat bahunya.
"Raf," bisik Maurin sambil melirik ke arah belakang Rafa.
"Kenapa?" Rafa menoleh ke belakang.
📷📷📷
"Lah, payung gue mana!" Pekik Sherin histeris sambil menengok ke kiri-kanan. Payung biru kotak-kotak yang ia letakkan di tempat payung sudah tidak ada.
"Ck," Gadis berkacamata itu berkacak pinggang. "Di sekolah elit begini masih ada yang mau ngambil payung?!" Ia menggeleng tidak habis pikir.
Labor kimia yang terletak tidak jauh dari kantin membuatnya mengambil keputusan untuk menunggu di sana hingga hujan reda. Tapak sepatunya memecah genangan air di jalanan yang sedikit berlubang sedangkan ransel biru mudanya dijadikan pelindung kepala.
"Huh, basah! Basah!"
Kantin SMA Cendikia atau yang akrab dipanggil kanbes yang berarti kantin besar adalah ruangan terbuka berukuran 20×20 meter yang menghadap langsung ke lapangan basket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lensa Argan✔[END]
Fiksi Remaja[Book1] "Lo payung biru kan, eh maksud gue lo yang minjemin payung waktu itu kan?" Orang itu menyunggingkan sebelah senyum. "Lo hafal wajah gue tapi gak hafal suara ya? Kalo boleh gue kasih saran, mending lo pergi ke dokter THT deh." Start: maret 2...