Ini Aku

306 38 0
                                    

"Astaga, tuan Min! Apa yang kau lakukan disini? Bukankah seharusnya kau pulang semalam?" Seorang pria dengan tinggi diatas rata rata itu bersikap seolah terkejut dengan apa yang dilihatnya. Sedangkan seorang yang dipanggil tuan Min itu hanya menggulirkan matanya malas. Sungguh dia bosan dengan sikap teman kerjanya yang satu ini. Terlalu berlebihan.

"Kau tau aku Chanyeol. Mana mungkin aku pulang sebelum menyelesaikan lagu ini. Bisa bisa aku dibunuh oleh sepupu gilamu itu." Chanyeol hanya tertawa pelan. Terlampau hafal dengan tabiat temannya itu. Juga sepupu gilanya. Mereka berdua sama saja. Monster gila kerja.

"Tapi setidaknya istirahatlah Yoon. Namjoon tak akan membunuhmu. Mana mungkin dia mau melepas seorang Min jenius Yoongi begitu saja." Yoongi hanya mendengus pelan.

Ia sebenarnya ingin, teramat ingin pulang dan bercinta dengan tempat tidurnya. Tapi dia memilih mengerjakan semua proyeknya dalam semalam. Ia hanya belum siap mental untuk pulang. Karna jika dia kembali pulang sekarang bisa dipastikan dia hanya akan menangis sendirian bukannya istirahat.

Ia lebih memilih mengubur dirinya di dalam studio kerjanya. Mengubur dirinya hingga ia hancur dan remuk seperti hatinya. Ia memilih melupakan semua hingga tak tersisa. Sayangnya semua sia sia. Karna meski ia bekerja selama 72 jam nonstop sekalipun tubuhnya hanya akan bergeming.

Ia terbiasa dengan sakit. Mungkin itu alasan kenapa daya tahan tubuhnya bisa jadi begitu menakjubkan.

"Ah, aku tadi bertemu dengan koreografer baru kita. Ia dari Gwangju. Kau tahu J-Hope Academy? Kudengar dia salah satu guru paling berbakat disana. Bukankah aneh jika seorang yang begitu berbakat sepertinya malah masuk ke agency kecil seperti milik kita?" Yoongi memutar kursinya hingga kin ia berhadapan dengan Chanyeol yang sedang duduk si sofa. Manusia tiang satu itu hanya akan menggangunya jika ia tak ditanggapi dengan baik.

"Dan kenapa kau harus bingung? Bukankah itu hal yang baik? Semakin banyak orang jenius yang datang kesini maka semakin besar pula kesempatan kita untuk jadi lebih besar."

"Tapi aneh rasanya Yoon. Apalagi saat aku bertemu dengannya tadi dia terlihat dingin. Sama sepertimu. Meski dia sedikit lebih hangat. Tapi tetap saja dia dingin. Hah, jika begini terus bisa bisa tempat ini akan terasa seperti di kutub. Brrr, membayangkannya saja sudah membuatku merinding." Chanyeol tak bercanda kali ini. Satu sosok dingin seperti Yoongi saja sudah menyeramkan apalagi 2. Bisa bisa ia mati membeku nanti.

Yoongi menatap Chanyeol malas. Temannya satu ini benar benar berlebihan. Ia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya dibanding meladeni makhluk tiang satu itu. Hingga sebuah pemikiran masuk ke otaknya.

Gwangju? J-Hope Academy? Kenapa rasanya tak asing?

"Ah, siapa nama pria itu?" Yoongi menunggu. Jantungnya berdebar. Ia berharap bahwa itu hanya kecemasannya belaka.

"Kalau tidak salah Jimin. Ya, Park Jimin."

Dan seketika Yoongi membeku.

...

Jimin masih menari. Menampik fakta bahwa ia telah berada di studio itu selama lebih dari 10 jam. 8 jam bersama anak didiknya. Dan 2 jam terakhir di habiskan dengan menari tanpa henti. Tak peduli bahwa tubuhnya lelah dan perlu istirahat.

Hingga dering ponsel memecah fokusnya. Ia menghela nafas. Sungguh ia tak ingin diganggu saat ini. Jimin mengambil ponselnya dan kembali menghela nafas. Kenapa disaat seperti ini justru dia yang menelfon?

Jimin tau jika ia tak menjawab, maka dipastikan ia akan menerima teror sampai besok lusa.

"YA! PARK JIMIN. APA APAN KAU?! AKU KAN SUDAH BILANG PADAMU UNTUK SELALU MENJAWAB TELPONKU. APAKAH ITU SULIT? HA!" Jimin menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia memutar bola matanya malas. Belum juga ia memberi salam sudah mendapat teriakan.

"Selamat malam Jung Hoseok yang terhormat. Bisa tidak kau berhenti berteriak? Setidaknya beri salam dulu baru marah marah."

"Aish, anak ini. Selamat malam juga Park Jimin yang menyebalkan. Kemana saja kau? Kenapa baru menjawab telponku sekarang?" Jimin terkekeh pelan.

"Astaga Hoseok-ah. Aku baru tiba di Seoul 2 hari yang lalu dan hari ini aku sudah mulai bekerja. Kau pikir aku hanya bersantai begitu?" Jimin mulai mebereskan barang barangnya. Sebaiknya ia pulang sekarang agar tidak tertinggal bus. Ia malas naik taksi karna harus keluar ongkos lebih.

"Ya ya ya. Terserah apa katamu saja lah. Lalu bagaimana? Kau jadi menemuinya?"

"Hem. Tapi tidak sekarang. Mungkin besok atau lusa."

"Apa kau yakin?"

"Aku sangat yakin Hobie. Aku tak ingin perjuanganmu dan kedua adikku sia sia. Setidaknya aku ingin meluruskan sedikit kesalahpahaman yang terjadi selama bertahun tahun."

"Baiklah kalau begitu. Aku percaya padamu.  Cobalah menghubungi Chaeyoung. Anak satu itu suka sekali menerorku hanya untuk tau kabarmu."

Jimin terdiam sejenak. Ah, Park Chaeyoung. Ia rindu. Sangat rindu pada adiknya satu itu. Ia juga rindu pada Jihyun. Si kembar itu, sudah seperti apa ya sekarang?

"Halo? Bumi kepada Park Jimin? Apa kau masih disana?"

Jimin tersadar dari lamunannya.

"Ah, maaf Hobie. Aku sempat melamun tadi. Tolong sampaikan salamku pada si kembar. Katakan pada mereka bahwa aku sangat merindukan mereka."

"Ji, ini sudah lebih dari 5 tahun. Aku mohon, hubungi mereka langsung. Aku tak bisa terus menerus menjadi perantara."

"Tapi..."

"Tak ada tapi tapian Park. Mereka sudah dewasa sekarang. Kau pun begitu. Kalian sudah tak berada di bawah bayang bayang orang tua kalian lagi. Aku tau kau sangat merindukan mereka. Aku mohon Ji. Untuk kalian."

Jimin terdiam. Ia tak tau harus bagaimana. Begitu banyak hal yang harus ia pertimbangkan hanya untuk sebuah kata hai. Ia tak boleh bertindak gegabah lagi. Ia tak bisa jika harus egois lagi. Ada banyak hal serta pihak yang ia pertaruhkan sekarang. Ia harus hati hati. Sangat hati hati.

"Aku rasa belum saatnya. Aku hanya tak mau semuanya hancur sebelum saatnya. Biarkan aku selesaikan satu hal disini maka aku akan menghubungi mereka."

"Kau egois Ji. Kau tak bisa melibatkan mereka dalam masalah ini..."

"TAPI NYATANYA MEREKA SUDAH TERLIBAT TERLALU JAUH!"

"..."

Jimin mencoba mengatur nafas dan emosinya.

"Maaf Hoseok. Aku tak bermaksud membentakmu sungguh. Aku pun lelah. Aku..." Jimin tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia bingung. Semuanya sudah terlanjur jatuh terlalu dalam hingga ia bingung harus memulai dari mana.

"Aku tau Ji." Hoseok menghela nafas. Mencoba melanjutkan kalimat saat suasana sudah terasa canggung itu sulit. Dan ia harus berhati hati. "Kami akan berkunjung minggu depan. Minju sudah merindukanmu."

Jimin tersenyum. Ia pun merindukan bocah kecilnya itu. Setelah basa basi kecil, ia memutuskan panggilan.

Kini ia yakin bahwa ia harus menyelesaikan semuanya. Demi dirinya, demi sahabatnya, dan demi Minju kecil. Malaikat yang harus ia perjuangkan masa depannya.

TBC

The DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang