Siang itu Taehyung telah siap dengan koper koper besarnya. Ia tengah menunggu Hoseok untuk mengantarnya ke Seoul. Berhubung Jimin pindah ke Seoul, mau tak mau Taehyung pun harus ikut pindah. Ucapkan terima kasih pada Jimin karena telah berhasil membuat anak semata wayangnya tak bisa lepas dari Jimin.
Minju seolah memiliki radar tersendiri untuk menemukan Jimin. Bahkan dalam keramaian sekalipun Minju selalu berhasil menemukan Jimin. Dan radar itu hanya bisa bekerja untuk Jimin. Minju masih sering merasa kesulitan untuk menemukan Taehyung dan Hoseok di keramaian hingga biasanya ia akan berteriak keras memanggil kedua ayahnya itu.
Benar benar luar biasa pengaruh Jimin untuk Minju.
Jadi dimanapun Jimin tinggal, disitulah Minju akan tinggal. Sebagai ayah yang baik, Taehyung harus berada di dekat putranya demi menjaga dan memantaunya. Dan itu berarti ia harus rela ikut kemanapun Jimin pergi.
Setelah menempuh waktu 3 jam dengan kereta, Taehyung akhirnya sampai di Seoul. Kota yang selalu dihindarinya selama bertahun tahun. Terlalu banyak kenangan pahit di kota itu.
Jantungnya berdenyut sakit. Sakit yang sama seperti tahun tahun silam. Ia masih merasakannya. Meski ia telah pergi, meski ia memiliki masa depan lain yang harus diperjuangkan ia masih mengingat betul rasa sakit itu.
Ia tau, cepat atau lambat ia harus kembali ke Seoul. Kesehatan ayahnya sudah mulai menurun dan mau tak mau ia harus mengambil alih bisnis yang dijalankan ayahnya sejak ia belum lahir.
Tapi sesiap apapun mentalnya, kenyataan berkata lain. Hatinya merasa sakit. Jantungnya terasa diremas remas.
Taehyung menarik nafas pelan. Mencoba menenangkan diri dan juga jantungnya. Kenyataan harus dihadapi. Masalah harus diselesaikan. Bukan dihindari atau ditinggal pergi. Matanya terpejam, menghalau airmata yang nyaris terjatuh.
Saat mata terbuka, satu nama muncul di pikirannya.
Min Yoongi.
...
"Pokoknya Minju nggak mau sekolah!" Minju melipat tangan di depan dada dengan bibir yang mengerucut. Pose andalannya saat tengah marah.
Jimun memijat pelipisnya. Sejak semalam Minju terus menerus merajuk dan marah padanya. Masalahnya sepele. Minju harus segera masuk sekolah.
Usia Minju sudah nyaris 7 tahun. Paling tidak ia haus mendapat pendidikan usia dini. Tapi bocah Kim itu selalu menolak. Ia bahkan menangis hampir 2 jam penuh semalam. Membuat Jimin harus merelakan istirahat malamnya untuk menenangkan Minju.
Jika ditanya alasan kenapa Minju menolak sekolah, Jimin juga tak tau. Minju selalu memberi alasan berbelit belit.
"Begini saja. Kita bicarakan hal ini nanti setelah Ayah dan Daddy sampai oke? Sekarang anak Papa yang tampan ini harus sarapan karna Papa harus segera berangkat kerja." Dan Jimin harus kembali mengalah. Lebih baik ia menyerahkan masalah ini ke ayah kandung Minju saja. Ia sudah lelah.
"Minju ikut Papa?"
Jimin mengangguk dan Minju bersorak senang. Ia memakan sandwichnya secepat mungkin.
Minju sangat menyukai studio tari. Terutama jika Jimin atau Hoseok ada di dalamnya. Papa dan Daddynya itu sangat keren kalau menari. Berbeda dengan sang Ayah. Ayahnya itu tidak sekeren Papa dan Daddy. Tapi Minju tetap sayang Ayah kok. Baginya, Ayah tetap no 1. Bagaimanapun bentuk Ayahnya.
...
"Jadi Minju masih menolak untuk masuk sekolah dan kau sudah menyerah untuk membujuknya?" Jimin mengangguk.
Ia baru saja menceritakan keluh kesahnya pada Namjoon. Di kantor Namjoon memang atasannya, tapi diluar itu Namjoon adalah salah satu teman baiknya dan juga Hoseok.
Saat ini mereka tengah makan siang di kantin agency sedangkan Minju tengah terlelap di pangkuan Jimin.
"Lalu kau mau apa?" Jimin menghela nafas. Ia sendiri sudah bingung harus berbuat apalagi.
"Entah hyung. Ini pertama kalinya Minju menolak permintaanku. Biasanya ia lebih mudah kubujuk. Tapi kali ini aku menyerah."
"Lebih baik kau diskusikan dulu dengan Hoseok dan Taehyung. Bukankah hari ini mereka datang?"
"Aku memang berencana untuk menyerahkan masalah ini kepada Taehyung. Bagaimanapun juga dia ayah kandung Minju. Dia yang lebih berhak atas urusan ini."
Namjoon mengangguk. Ia memperhatikan Minju yang tengah menggeliat di pangkuan Jimin. Sepertinya bocah itu sedikit terganggu dengan suasana kantin yang sedang ramai. Hingga tiba tiba ia menyadari sesuatu yang aneh dari Minju.
"Ji." Jimin hanya menggumam. Ia masih sibuk membenahi posisi tidur Minju agar lebih nyaman.
"Kenapa semakin lama, aku perhatikan Minju semakin mirip denganmu?"
"Benarkah? Bagus kalau begitu. Lebih baik ia mirip denganku daripada mirip ayahnya yang bodoh itu."
"Aku jadi curiga. Jangan jangan Minju itu anakmu dengan Taehyung." Sebuah gepaklan sayang mendarat di kepala Namjoon. Siapa lagi pelakunya kalau bukan bukan Jimin. Namjoon hanya terkekeh pelan sekarang. Tak menghiraukan sikap kurang ajar Jimin atau sakit yang mendera kepalanya. Karna apa yang dihadapannya kini lebih menarik dibanding apapun.
Mata kecil yang terlihat menyipit tajam, tangan kanan memeluk tubuh Minju yang tengah tidur dipangkuan, tangan kiri yang mengusap kepala Minju perlahan. Sungguh, Jimin terlihat seperti ibu yang tengah melindungi anaknya yang tertidur dari gangguan pedofil.
Ah, hilangkan saja bagian yang tarakhir karna Namjoon sungguh bukan seorang pedofil. Ia masih menyukai perenpuan dengan dada dan pantat besar serta rambut panjang dan tubuh molek. Bukan anak laki laki umur 6 tahun.
"Kau yakin kalau kau bukan ibu kandung Minju?" Namjoon tak jera. Menggoda Jimin sudah menjadi hobinya kini. Jimin hanya mendengus kasar. Lelah menghadapi celotehan bosnya itu.
"Kalau kau belum lupa hyung, aku ini pria bukan wanita. Aku masih bisa membuat gadis diluaran sana hamil jika aku mau."
"Lalu kenapa sampai sekarang kau tak punya kekasih?"
Jimin menerawang sejenak. Pertanyaan Namjoon membuatnya teringat pada masa lalunya. Ia sendiri ingin mencoba hidup normal. Jatuh cinta pada wanita dan menikah serta memiliki keluarga kecil yang utuh. Ia ingin membuat kepercayaan orang tuanya kembali. Ia sangat menginginkan itu.
Tapi hatinya berkata lain. Sekuat apapun ia berusaha ia tak bisa melupakan masa lalunya dengan mudah. Cintanya masih digenggaman sosok itu. Hatinya telah terkunci rapat. Ia sendiri tak mampu membuka gembok itu.
Dan hingga kini, separuh jiwanya menginginkan sosok itu kembali. Melupakan banyaknya luka yang pernah ia torehkan pada sosok itu dulu. Melupakan betapa kerasnya kedua orangtuanya serta melupakan pandangan sekitar.
Tapi separuh jiwanya yang lain berontak. Menamparnya keras dengan kenyataan yang ada. Dengan ingatan pada sumpah serapah ayahnya, pada tatapan kecewa ibunya serta pada setiap pukulan yang ia terima setiap ia mencoba melawan.
Hingga akhirnya ia menyerah. Jimin memilih untuk menyerah pada semuanya. Ia memilih untuk berhenti di tempat. Memandang punggung orang orang tersayangnya dari belakang. Melindungi serta mendorong mereka jntuk terus maju dan bahagia. Tak peduli jika ia tertinggal jauh.
"Ji?" Tepukan pelan di bahunya menyadarkan Jimin. Ah, ia melamun sedari tadi. Ia beranjak dari duduknya dan berpamitan pada Namjoon. Beralasan bahwa Minju harus tidur siang dengan nyaman. Meninggalkan Namjoon yang tengah bingung seorang diri.
Kenapa belakangan ini orang orang di sekitarnya suka sekali melamun?
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
The Day
FanfictionYoongi dan Taehyung yang harus kehilangan cinta pertama mereka. Jimin dan Jungkook yang tak bisa mengalahkan ego mereka. Saat semua menjadi semakin rumit, akankah ada hari baru untuk mereka melangkah lagi?