16 [enam belas]

7 1 0
                                    

NP : Tulus - Pamit
-
-
-
-

Sudah seminggu Samuel tidak berinteraksi maupun bertemu dengan Siera. Entah perasaannya atau memang fakta, bahwa dia dan Siera sama-sama menghindari satu sama lain.

Dengan banyak pertimbangan, ia memutuskan mengajak Siera pulang bersama.

Ia bersyukur kelasnya sudah pulang terlebih dahulu. Ia memilih duduk di bangku panjang yang berada di depan kelas Siera.

Lima menit menunggu, sosok yang sedang ia pikirkan sudah keluar. Sebelum melewatinya, Samuel memanggil "Siera."

Siera menyembul poninya. Mau tidak mau, ia harus menghampiri Samuel yang sepertinya memang sudah menunggunya.

Siera enggan berbasa-basi, jadi ia memilih langsung menanyakan ada apa gerangan Samuel mencarinya "Ada apa Sam?"

"Gue anter pulang yuk. Sekalian minta maaf bikin kamu dulu telat. Plis, kali ini aja." pinta Samuel bersungguh-sungguh.

Siera yang sedang malas dan lelah untuk mengeluarkan emosi memilih mengangguk "yaudah, ayo keburu sore."

Merekapun bejalan beriringan menuju mobil Samuel di parkiran. Tak ada yang berminat memulai percakapan. Mereka juga malas memikirkan orang-orang yang sedang fokus memandang mereka.

Samuel tetap membukakan pintu mobil untuk Siera, "makasih." ucap Siera.

Di dalam perjalanan Samuel mencoba memecah keheningan "Sier kamu masih marah?"

"Marah buat apa?" tanya Siera balik, ia hanya ingin Samuel memperjelas perkataannya. Ia sedang malas berbelit-belit.

Samuel menghentikan laju mobil karena tertahan lampu merah "Buat dulu yang dirumah kamu."

"Sam, aku udah maafin kok. Kamu gak usah baik ke aku kalau cuma sungkan, atau takut menyinggung perasaanku yang notabenenya anak teman papa kamu." ujar Siera salah paham.

"Sier kamu salah tangkap. Aku gak sungkan, berapa kali aku jelasin sih?" pekik Samuel yang mencoba mengontrol nadanya.

Siera menyenderkan badannya mencoba tidak emosi agar tidak semakin memperkeruh keadaan "Karena aku orang yang selalu kamu tolak. Bagaimana aku bisa berpikir kamu punya rasa sama padaku Sam? Katakan, dimana letak keharusanku tidak cemas. Aku takut menafsirkannya dengan salah."

"Aku ngaku salah Sier, maaf. Kamu boleh hujat aku munafik, aku naif, aku kena karma. Silahkan." tutur Samuel pasrah.

Hening beberapa menit setelah Samuel melajukan mobilnya karena lampu sudah berubah warna menjadi hijau.

"Aku gak mau terluka, lalu menyalahkan kamu atau juga menyalahkan diriku sendiri Sam. Gak ada guna kamu nyuruh aku hujat kamu." balas Siera dengan menatap Samuel.

Ia rindu Samuel yang membencinya daripada Samuel yang seperti ini.

"But, di sini emang aku yang salah Sier. Seharusnya aku gak usah kemakan omonganku sendiri. Lalu membuat kamu terluka berkali-kali." nada Samuel terlihat menyalahkan dirinya sendiri.

Siera menatap Samuel nanar, lidahnya kelu "Jadi kamu nyesel balik cinta ke aku?"

"Siera, kamu selalu menyimpulkan sesuatu sendiri. Plis kamu jangan salah paham terus. Aku capek." jujur Samuel menatap Siera balik.

Siera dapat melihat mata Samuel yang sayu, ia gak berbohong. "Oke aku minta maaf karena salah paham terus."

Mobil Samuel sudah sampai di depan rumah Siera. Namun mereka berdua sama-sama enggan turun. Dalam konteks yang berbeda, antara pulang maupun mampir.

"Siera?" panggil Samuel halus.

Siera menatap Samuel "Hm?"

"Sekali lagi, aku cinta Sier sama kamu. Setelah kamu berubah menjadi lebih baik, aku baru sadar bahwa kamu pantes aku cintai. Sier, kamu mau gak jadi pacar aku?" pinta Samuel menunggu jawaban dari Siera.

Siera menghela nafas panjang, berusaha memperbanyak pasokan oksigen di paru-parunya. "Sam, aku gak bisa."

"Kenapa? Bukankah kamu yang selalu ngejar-ngejar aku Sier? Bukankah ini yang kamu mau?" ronta Samuel frustasi.

Siera memegang tangan Samuel "Sam mungkin kamu suka aku saat aku bukan jadi diri aku sendiri. Saat itu kamu mulai cinta. Tapi Sam, aku gak mau setelah aku berubah kayak awal, aku pecicilan dan urakan. kamu gak nyaman dan cinta kamu hilang. Karena aku gak mau jadi orang lain buat dapat cinta kamu."

Saat Samuel akan menjawab, Siera menyentuh bibir Sam dengan jari telunjuknya.

"Aku baru sadar, sebelum aku mencintai seseorang. Aku harus mencintai diri aku sendiri Sam. Setelah semua yang aku lakuin ke kamu, betapa menunjukkan bahwa aku mencampakkan harga diriku sendiri. Aku tidak mencoba membahagiakan diriku sendiri. Dan parahnya aku mencoba menjadi orang lain dan sialnya kamu cinta pada perubahanku. Aku gak mau jadi orang lain Sam."

Tanpa Samuel inginkan, air matanya menetes. Ini kali pertamanya menangis di depan perempuan, yang sialnya dulu ia tolak mati-matian.

Dengan sekejap Siera mengecup bibir Samuel, menghapus jejak air matanya "Mungkin kamu masih keras kepala nyebut ini cinta. Tapi esok atau lusa Sam, kamu sadar bahwa cuma perubahanku yang kamu cinta. Bukan aku. Seharusnya kamu bahagia, karena besok aku gak akan ganggu kamu, ke kelas kamu, nyapa kamu dan buat kamu emosi lagi."

Samuel memalingkan wajahnya ke arah luar jendela.

"Sam, aku pamit ya. Kamu hati-hati pulangnya. Kalau kamu cinta aku, kamu gak akan membahayakan diri kamu sendiri. Jika kita berjodoh, kita akan bertemu lagi." setelah mengucap pamit, Siera membuka pintu.

Sebelum meraih gagang pintu, tubuhnya direngkuh Samuel. Siera dapat merasakan hangat pelukan yang dulu ia dambakan. Deru nafas Samuel menyapu lehernya, Deru nafas yang Siera tidak ingin nafas itu berhenti.

"Biar seperti ini Sier, sekali saja." pinta Samuel.

Siera membalas pelukan Samuel. Mengelus punggung laki-laki itu "Samuel aku tetap sayang kamu."

"Aku juga Sier. Kenapa kalau kamu sayang kamu nolak aku?"

"Tapi aku lebih sayang diri aku sendiri. Kamu juga harus gitu, jangan mencintai seseorang melebihi cinta kamu ke dirimu sendiri ya?" ujar Siera yang masih di dalam dekapan Samuel.

Samuel hanya bergeming, Ia benar-benar tak butuh bualan Siera. Ia hanya butuh pelukan yang dulu tak pernah ia bayangkan maupun ia inginkan.

Anjay, setelah berpikir berulang-ulang gue milih ending dimana tokoh itu butuh, bukan kita yang butuh melihat mereka bahagia. But, jangan lupa vote lho!

CANDRAMAWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang