Kau pernah berusaha keras membuat aku tertawa. Pernah hampir putus asa, karena tak kunjung aku membalas hal yang sama. Tapi ambisimu, masihlah terlalu besar bila dibandingkan dengan kata menyerah.
Perlahan, kau mampu meruntuhkan diriku yang aku jaga habis-habisan. Menjaganya, agar tak sampai lagi salah menjatuhkan. Tak lagi terluka, yang diikuti dengan rasa kecewa. Kau mampu membuatku percaya, bila yang lalu telah berlalu. Telah berganti dengan yang benar-benar ingin berbagi.
Nyaman benar-benar merasuk dalam diri. Kebiasaan-kebiasaan sederhana yang kau lakukan perlahan melekat. Sapa selamat pagi, pap foto untuk sekadar saling mengetahui, dan video call yang kau wajibkan setiap menjelang tidur. Semua terekam sempurna di kepala. Hingga timbul sebuah rasa tak biasa, saat kebiasaan perlahan tiada.
Kau pergi membawa sebagian dari rasa nyaman. Nyaman yang tercipta dari kebersamaan. Susah payah yang kau lakukan, nyatanya pernah kau lakukan ke hati yang lain. Tak benar-benar istimewa, tak benar-benar ingin berbagi.
Dan lagi, aku harus kembali pelan-pelan menekan perasaan. Kembali membiasakan hati sendirian. Menambal luka yang lagi-lagi menggores sesuatu yang mati-matian aku pertahankan. Menghilangkan, yang selama ini kau tanamkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Senja
PoetryPada sebuah perasaan, aku tak cukup mampu mengatakan bahwa aku terluka. Tak cukup sanggup, bila harus mengejarmu yang berlari sangat cepat, sedangkan aku di sini, tertatih, berdiri dari jatuh pun aku belum mampu. Lewat tulisanku, aku mendoakanmu dar...