Keping 18 Kepedihan

58 8 0
                                    


"Len, marah ya? Nanti setelah kerjaan selsai aku kesini lagi kok."

"Enggak.. hati-hati Nad." Lena cepat-cepat tersenyum, mengecup punggung tangan Bernad.

Mendadak kamar itu begitu sunyi. Bernad sudah pergi setidaknya lima menit yang lalu. Suara deru mobilnya sudah melesat terbawa angin. Di samping tenggorokannya yang seperti tercabik-cabik Lena memang tak berniat membuka mulutnya. Pikirannya masih menerka-nerka sebuah nama di seberang sana. Nama yang keluar tanpa beban dari mulut kekasihnya. Apakah dunia ini begitu sempit sehingga Bernad dan Steven ditakdirkan untuk bertemu? Lena berharap ada ribuan nama Steven di luar sana.

"Len sebenarnya aku kesini pengen tanya sesuatu.." Magda akhirnya memecahkan keheningan. Lena tersadar bahwa sedari tadi ia membiarkan Magda menjamur memandanginya.

"Oh.. jadi kesini nggak niat jenguk aku?" Lena mencubit pinggang Magda, mereka tertawa. Magda membenarkan duduknya, ia duduk bersila di atas kasur Lena, menatap Lena lurus-lurus. Magda menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen banyak-banyak karena perasaanya mengatakan topik pembicaraan mereka akan memberat.

"Len, cowo yang anter surat ijin kamu nggak masuk tadi siapa?" Magda langsung menangkap perubahan wajah Lena. Kaget bukan main.

"Suratnya dikasikkan ke kamu? Kamu ketemu dia?"

"Yah.. kebetulan aja sih.. tapi aku penasaran sama dia, emh kayaknya aku naksir sama dia Len." Untuk kedua kalinya Lena terperanjat. Ia merasa sebuah batu besar menghantam dadanya.

"Oh.. dia mantan aku," seringan mungkin Lena mencoba tetapi seperti ada yang tertahan, "namanya Steven." Kali ini giliran hati Magda yang terhantam batu.

"Bernad tau soal ini Len?"

"Enggak.. maksudku belum." Lena menunduk.

"Tunggu.. mantan kamu itu temen kerjanya Bernad? Tadi yang telpon Bernad kan?"

"Enggak.. maksudku nggak tau." Lena masih menunduk.

"Oke jangan bilang kamu nyembunyiin ini dari Bernad? Jangan bilang kamu masih ada hubungan sama si Steven?"

Lena POV

Perasaan apa ini? Kenapa aku merasa di dorong sampai ke sudut? Steven tak lebih dari sebuah cerita yang pernah singgah di hati. Aku juga tak mengerti kenapa cerita itu tiba-tiba melompat berdiri di hadapanku. Apakah mantera dari negeri dongeng benar-benar ada? Mantera untuk membangkitkan tokoh-tokoh dalam cerita? Ataukah cerita ini belum berakhir?

Aku masih menunduk. Aku benar-benar tak memiliki sepatah katapun untuk diucapkan. Aku masih ingin menyimpulkan perasaan apa yang meracuni hatiku saat ini. Aku benar-benar mencintai Bernad, tidak ada kata-kata lain yang dapat mendeskripsikan seberapa besar cintaku padanya. Tapi kenapa aku tak dapat membiarkan mulutku mengatakan yang sebenarnya? Magda adalah sahabatku, seharusnya aku berteriak kegirangan ketika mendengar ia menyukai seseorang. Aku benar-benar tidak mengerti. Semua ini membuat kepalaku bertambah pening.

"Len.. ceritain hubungan kalian. Mungkin aku bisa bantu kamu juga." Magda memegang bahuku pelan. Mungkin benar, aku harus menceritakan semuanya.

Kala itu

Lena meringkuk di balik selimut, ia menutup rapat-rapat telinganya. Teriakan, suara pukulan, suara piring yang terpecah belah, tangisan sudah memekakkan telinganya setengah hari ini. Lena bahkan belum makan seharian, perutnya yang melilit membuatnya semakin tersiksa di balik selimut. Sebenarnya hari ini bukanlah kali pertama, orang tuanya menunjukkan pertunjukan ini tetapi hari ini adalah yang paling parah.

"Jon! Semua ini impas ya! Kamu udah ngabisin uang kamu untuk cewe-cewe malem itu kan?"

"Santi, denger ya! Aku cuman makan! Nggak kayak kamu yang pake nginep-nginep segala, itu keterlaluan namanya." Jonny, ayah Lena berdiri bersiap menampar istrinya.

"OMONG KOSONG! Kamu nampar aku karna kamu ngerasa bersalah kan?" Tak mau kalah Santi berdiri, tangan kirinya sekonyong-konyong menyaut vas bunga.

"Kamu bener-bener keras kepala San."


Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang