Keping 16 Semangkok Keraguan

42 9 0
                                    

Bernad tergopoh-gopoh dengah dua kancing baju yang tak terkait, simpul dasi yang mencuat kekiri kanan, rambutnya yang memanjang basah belum disisir. Ia tau ia terlambat, tapi tujuan utamanya kantor Lena. Ia berlari sampai-sampai hampir tersungkur di anak tangga ke tiga. Pikirannya yang berlarian kesana kemari membuat ia begitu bodoh karena lebih memilih ratusan anak tangga daripada lift yang sedari tadi kosong.

"Oi.. ada apa nih?" Magda kaget bukan main saat tiba-tiba Bernad menggebrak mejanya.

"Lena mana?" Suara Bernad terkalahkan dengan nafasnya yang memburu.

"Kamu abis lari?! Santai aja kali Nad."

"Eh kantormu ada di lantai lima, capek tau naik tangganya." Bernad mendengus.

"Lah kan ada lift? Kamu bego apa gimana?" Muka Bernad merah padam. Usahanya untuk menghemat waktu dengan berlari mendadak terasa begitu sia-sia dan konyol. Dalam hati ia merutuk, untuk apa tangga jika sudah ada lift? Benar-benar menyusahkan.

"Udah udah.. Lena dimana?"

"Lah masa pacarnya gatau sih? Nah justru aku mau tanya, tega banget kamu biarin Lena pulang tengah malem ujan-ujanan? sekarang dia ga masuk dan aku harus beresin tugasnya, artinya kamu secara ga langsung bikin aku menderita." Magda langsung menjelma menjadi naga yang menyemburkan apinya kuat-kuat. Ocehan demi ocehan berkumpul menjadi satu menghantam Bernad. Lena yang mengirim pesan tengah malam dan tak bisa dihubungi keesokan harinya mendadak menjadi begitu jelas bagi Bernad. Bernad kembali berlari dan membiarkan dirinya terlihat bodoh dengan menuruni ratusan anak tangga.

Bernad tak lagi menghiraukan pekerjaannya. Sebaliknya ia siap jika Lena juga tak menghiraukannya. Baginya ini adalah resiko karena telah lalai menjaga Lena. Tak ada pilihan lagi di depan matanya, benar-benar hanya satu. Menemui Lena.

"Len?" Bernad masih terus mengetuk pintu rumah Lena. Sudah sepuluh menit, tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka dan menyambut kedatangannya yang tiba-tiba. Ragu bernad membuka pintu itu, tidak terkunci!

"Len?" Tak ditemukannya di ruang tengah Bernad langsung menyentakkan kakinya menuju kamar Lena. Tak seperti tadi langkahnya terasa amat berat. Nafasnya seperti tercekat ketika melihat gadisnya meringkuk di balik selimut yang berlapis-lapis. Spontan Bernad melepas jaketnya dan membiarkan jaket itu melebur bersama lapisan-lapisan selimut.

Menyadari bebannya bertambah, mata Lena perlahan terbuka. Buram, tapi Lena langsung menangkap siluet tubuh itu.

"Nad.." Lena terseyum

"Aku bener-bener minta maaf Len kemaren aku ketiduran." Bernad terlihat lebih dari panik. Punggung tanganya beradu dengan dahi Lena yang mendidih.

"Gapapa, lho sekarang jam berapa? Kamu nggak kerja?"

"Hari ini aku temenin kamu ya. Kamu udah makan?" Bernad menggenggam tangan Lena, sama sekali tak menggubris pertanyaan Lena. Lena hanya menggeleng, terlalu lemas untuk berkata-kata.

"Tunggu ya Len," Bernad bangkit berdiri berjalan ke arah dapur, mencari-cari sesuatu yang bisa dimasak. Bukan karena Lena kekurangan bahan tapi lebih-lebih karena Bernad buta sama sekali tentang memasak. Sambil terus menerus mencari matanya tertambat pada sesuatu yang ganjil, mangkok kotor yang teronggok begitu saja di wastafel. Bernad mengamati, kelihatannya seperti bekas bubur. Keraguan hadir menghinggapi Bernad. Apakah Lena benar-benar pulang sendiri? Bernad menepuk-nepuk keningnya berusaha keras meyakinkan siapa si pembuat bubur itu. Pasti Lena, kalaupun bukan mungkin Lena sengaja membelinya, kalaupun masih salah sudah pasti koki itu Magda. Entah kenapa Bernad merasa terganggu dengan mangkok bekas bubur itu. Ia berusaha tidak melihat tapi sia-sia.

Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang