Keping 21 Steven dan Bernad

39 6 0
                                    


Bernad POV

Ku lihat kembali beberapa lembar denah yang sempat memusingkan kepalaku beberapa minggu yang lalu. Seperti ada yang terhempas ke udara, tak menyangka denah rumit itu sudah selesai. Masih pukul 3 sore, apa lagi yang harus kukerjakan? Kelihatanya tak ada satu pekerjaanpun yang tersisa. Apa boleh buat? Dari pada mati kebosanan, lebih baik menghibur Steven sedikit.

"Ven, mau dibantuin ga? Lagi baik nih.." Tak ada jawaban, jangan bilang Steven sedang terbuai mimpi-mimpi. Aku bangkit berdiri, melongokkan kepalaku dan mataku langsung menangkap ratusan kertas berserakan di ruang kerjanya. Benar-benar ciri khas seorang Steven. Hanya satu yang berbeda, ruang kerja itu kosong tak berpenghuni. Kemana dia?

"Nyari Mas Steven? Saya lihat tadi pagi sudah keluar kantor mas." Mas Bimo menepuk pundakku dan kembali berjalan mengantarkan beberapa gelas kopi. Aku mendengus kesal, tak punya semangat lagi membantunya. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Lena! Lebih baik kuhabiskan hari, menggenggam tangannya. Untung saja, Lena sedang tidak berkutat di kantor. Ah, rupanya semuanya sudah diatur.

Satu jam perjalanan, aku cukup menikmatinya. Memikirkan Lena, membuat segalanya terasa menyenangkan bahkan Jakarta yang selalu merayap sekalipun. Sambil mencari tempat untuk mengistirahatkan mobilkku, sesuatu mencuri pandanganku. Sedan hitam melaju di depanku! Plat nomor itu benar-benar membuatku tak lagi asing. Steven apa yang sedang kamu lakukan?

Pukul 16.05

"Halo.. Len aku di parkiran, aku tunggu kamu ya."

Message delivered

Aku masih mencoba menenangkan hatiku, mencerna apa yang kulihat baik-baik. Mungkin ini butuh waktu. Itulah kenapa, aku membiarkan diriku, masih dengan sabuk pengaman, duduk diam.

Lena mengemasi barang-barangnya. Hatinya berdebar kencang. Ia sama sekali tak menyangka Bernad akan menjemputnya secepat ini. Ia hanya bisa berharap, mata mereka tak sampai bertemu.

"Kamu mau balik?" Magda bergeming, tangannya hati-hati menarik bulu mata yang sedari tadi rekat di mata indah milik Ari.

"Iya, Bernad udah jemput."

"Your boyfriend? Tunggu aku, aku anter kamu ke depan." Ari langsung menoleh. Lena tersentak tetapi langsung tersenyum, sebegitu antusiasnya Ari. Cepat-cepat Ari membenahi dirinya kemudian menggandeng Magda dan Lena keluar.

"Hai sayang," ucap Lena manis sesaat setelah punggungnya nyaman bersandar pada jok mobil. Bernad balas tersenyum, tetapi masih tak berminat berkata-kata. Ia membuka kaca jendelanya, membiarkan Lena melambai-lambai pada dua gadis di seberang sana. Bernad ikut tersenyum sekilas dan lagi-lagi pandangannya bertemu canggung pada gadis molek asal Singapura itu.

"Nad, tumben pulang awal?"

"Ga boleh ya emangnya?" Bernad balik bertanya. Pertanyaan yang datar dan hambar. Seperti tak serius menanggapi pertanyaan Lena, Bernad terus menatap jalanan yang merayap di depannya.

"Enggak." Ucapan terakhir sebelum mereka membisu.

Lena POV

Keramaian membeludak tetapi aku merasa begitu kesepian di sudut Cafe. Terdengar suara-suara obrolan yang tumpang tindih, namun suasana di mejaku hanya diramaikan dengan sendok garpu yang beradu. Aku ingin bertanya, tetapi aku sendiri merasa pertanyaanku begitu rancu. Steven dan Bernad, apakah tadi mereka bertemu? Aku betul-betul bingung bingung. Aku tak tahu pasti karena dunia ini dipenuhi ribuan Steven. Tentu sangat kecil kemungkinannya, Steven mantan kekasihku adalah rekan kerja Bernad kekasihku.

"Nad, kok diem aja?" Aku tak tahan lagi.

"Kamu sendiri kenapa diem aja?" Pertanyaan Bernad langsung menghunus hatiku. Entah kenapa pertanyaan itu begitu menyakitkan. Tanganku bergetar, tak mampu lagi menahan beban sendok dan garpu. Bersamaan dengan dentingan garpuku yang jatuh, mataku basah.

Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang