Keping 10 Hotel Cantika

57 7 0
                                    


"Bro mana?" Lena celingukan, biasanya  anjing golden itu sudah setia menjadikan kaki Lena sebagai bantal semenit setelah Lena duduk di sofa ini. Selalu seperti itu, barangkali Bro diam-diam sudah menobatkan kakinya sebagai bantal ternyaman yang pernah ia tiduri.

"Masih di kandang, kalo mau dilepas lepas aja di kulkas ada daging takutnya raib sebelum dimasak," Bernad nyengir.

"Oh.. Nad kamu sebenernya kenapa? Kamu sakit?" rupanya Lena hanya menjadikan Bro sebagai topik basa-basi. Kini mukanya berubah serius, ia menatap Bernad lurus-lurus. Bernad menghindar dari tatapan itu, ia tak lagi berani menatap bola mata itu. Kejadian ini sudah cukup membuatnya merasa bersalah apalagi ditambah dengan pertanyaan Lena yang langsung menusuk hatinya, membelenggu saraf-sarafnya. Diam sambil menggigit bibir mendadak terasa begitu berharga bagi Bernad.

"Nad?" Lena bertanya lagi, "ada yang kamu sembunyiin dari aku?"

"Apa sih Len? Aku tadi itu belum sarapan jadinya alay deh, maaf ya bikin kamu khawatir," Bernad menepuk-nepuk perutnya, "anakondanya udah ga bisa diajak kompromi, aku bener-bener minta maaf ya." Ia sendiri tidak tahu apakah itu adalah alasan yang masuk akal.

Bernad POV

Lena berdiri, tersenyum, berjalan membelakangiku menuju dapur. Senyum itu menyayat hatiku, langkah itu meremukkan tulangku. Semunya begitu menyakitkan. Tidak, aku menggeleng-geleng kepalaku. Lena sama sekali tidak bersalah, aku tersakiti karena kebohonganku sendiri. Sulit, sulit sekali ditahan. Mataku panas dan buram.

Cinta telah mempersatukan kita. Lewat cinta aku melihat, mendengar, meraba, mencium semua tentangmu, semua kejujuranmu.

Tiga hari sejak kejadian itu, semuanya kembali normal. Baik Lena, Bernad, dan Magda tidak sama sekali mengungkit, mereka menguburnya dalam-dalam. Magda memang tak ada urusannya, tapi Bernad dan Lena masih terusik. Tapi mereka sepakat untuk diam, terlalu banyak yang harus ditanyakan terlalu banyak yang harus dijelaskan.

Lena POV

Aku berjalan tergesa, hak 5cm ku beradu dengan lantai menimbulkan bunyi gemeletuk di setiap langkahku. Hari ini aku harus presentasi untuk produk terbaru Miracle di Hotel Cantika. Kulirik jam tanganku, 5 menit lagi sementara lift didepanku tak kunjung terbuka. Kuhentak-hentakkan kecil kakiku, berusaha mengusir kepanikan ini. Sip! Pintu terbuka langsung saja aku masuk, tak ada lagi waktu menunggu. Tuhan jangan sampai ada yang menghalangi ku lagi dan Bruk! Aku menabrak sesuatu, ralat seseorang.

"Lena?!" Aku tak mengenalinya. Kuamati sejenak hanya sejenak, detik berikutnya aku kaget bukan main. "Steven?!"

"Gapapa kalo lagi keburu, aku tunggu di lobi. Bye," buru-buru Steven berbicara sebelum pintu lift itu kembali memisahkan mereka.

Lena POV

Aku tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, kupikir Aku dan Steven tak lebih dari sebuah kenangan-kenangan manis yang sekaligus pahit. Aku sudah berusaha menguncinya rapat-rapat. Memang butuh waktu, tetapi semuanya sudah rapi. Bulat keputusanku untuk tidak membukanya lagi. Tidak akan pernah. Tapi pagi ini, pintu itu didobrak paksa, membuatku hanya terdiam menatap siapa yang datang. Aku tahu betul Steven tidak bersalah, tetapi entah kenapa aku muak menghadapinya, ditambah lagi aku pasti akan menatapnya, kembali ke masa lalu dalam dua jam kedepan.

Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang