Keping 29 Amplop Coklat

41 2 0
                                    

Ari tersadar, ia memandang ke sekeliling. Ramainya Kedai 'Itadakimasu' membangunkannya dari mimpi buruk termanisnya. Ia kaget bukan main saat perempuan hitam manis melambai-lambaikan tangan tepat di depan bola matanya. Butuh beberapa detik untuk ingat siapa dia. Magda.

"Eh.. eh ada apa?"

"Kamu kenapa sih.. bengong sampe lama gitu." Ari hanya menggeleng.

"So.. setelah kamu bengong, aku pingin denger apa jawabanmu?"

"What answer?"

"Hem.. how about your love story." Magda mengejanya pelan-pelan, menekankan pada kata
love story.

"Oh iya.. umm gimana ya?" Ari seperti berpikir, "Our love story was colorfull."

"Setelah aku menunggu lima menit buat denger dan hanya itu jawabannya? Nice" Magda mendengus kesal, ari hanya terdiam. Ada satu hal yang tak disadari Magda bahkan ari telah memperjelas kata was. Tapi mungkin lebih baik tetap terpendam.

Sam.. How are you? Ari menyapa dalam kalbu.

"Oh ya.. how about your parents?" selang sepuluh menit, Magda memecah hening.

"My parents?"

"Iya.. mereka pasti bangga punya anak kamu."

"Mereka baik-baik saja." Ari tersenyum kecut, menyadari ia sama sekali tidak mengetahui kabar sesungguhnya. Sejak malam itu, Ari tak lagi mengenal rumah.

"I see.. mau pulang?" Ari langsung berdiri, jengah pada setiap pertanyaan yang terlontar bahkan untuk yang terakhir. Demi apapun Ari ingin menyemburkan seruan, ia tak akan pulang.

Bernad POV

Sejak lima menit yang lalu, kakiku kehilangan kendali. Aku terus menghentakkannya mulai dari ritme lambat sampai pada puncaknya bergetar kencang. Seorang ibu disebelahku berdiri dan menunduk kecil. Awalnya kukira tindakannya itu sebagai protes atas ketidaknyamanan yang kutimbulkan. Tapi ternyata salah atau mungkin juga benar. Mataku hanya menangkap ibu itu menghilang di balik ruangan seiring dengan pintu yang tertutup. Sebentar lagi aku juga akan menghilang dibalik pintu itu.

Dalam hati aku berdemo, aku menolak masuk. Kalau hanya jarum suntik atau obat sekeranjang itu bukan masalah besar bagiku. Hanya saja siang ini aku tidak kesini untuk itu, tidak sepenuhnya lebih tepatnya. Aku masih mengeluh saat pintu itu terbuka.

"Siang Bernad, apa kabar?"

"Jujur saya gugup dok," Aku berusaha menerka arti dari senyum yang tercetak di wajah Dokter Ginto, sepertinya senyum yang prihatin.

"Cepat atau lambat hasil cek mu yang minggu lalu harus saya berikan." Ia mengambil bolpen dari saku jasnya dan membuka amplop coklat yang sedari tadi ditindihnya dengan kedua sikunya.

"Iya, saya mendengar."

"Jadi begini.. tubuhmu yang sekarang ini sangat sensitif, jadi kamu benar-benar harus istirahat."

"Hanya itu kan dok?"

"Kamu tidak bisa bilang hanya, ini serius." Dokter Ginto menghela napas, "kamu kami rujuk ke Singapore karna kondisimu sekarang."

Seperti ada lonjakan tsunami menghantam dadaku. Aku baru menelan pernyataan itu beberapa detik kemudian dengan respon badanku yang kaku condong ke depan, "Apa?"

"Kamu harus mendapatkan perawatan intesif yang kami belum bisa melakukannya disini. Kamu akan menjalani terapi disana..." Dokter Ginto terhenti saat ia mendongak. Aku cepat-cepat mengusap air mataku, "ini bukan beban, ini justru membantu. Sedapat mungkin saya akan tetap memantau." Lanjutnya kemudian.

"Saya nggak bisa dok," setenang mungkin aku menjawab, "keputusan terakhir tetap ada di tangan saya."

"Betul, saya hanya menyarankan. Tapi kamu perlu punya keputusan yang bijak soal kesehatanmu."

"Dokter nggak bisa bilang ini hanya, saya punya pekerjaan yang nggak bisa saya tinggal. Saya juga nggak bisa ninggalin Lena, dia bahkan belum tau kalo saya sakit. Bagaimana saya harus bilang ke dia? Saya.." Aku kaget sendiri, "maaf."

"Saya mengerti. Memang benar keputusan ada di kamu, tapi bukan berarti kamu bisa memutuskan sembarangan. Kamu bisa pikir-pikir dulu, kabari saya dalam satu bulan ini."

"Saya permisi." Dokter Ginto mengangguk, menyerahkan amplop coklat itu tegas.

Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang