Keping 14 Kenna

54 10 2
                                    

Seperti biasa Lena dan Bernad duduk di sudut cafe, bersebelahan dengan jendela berbahan dasar jati yang di ukir membentuk relief bunga. Jendela itu terbuka lebar-lebar, membiarkan angin masuk dan keluar. Tak hanya ukiran, jendela itu semakin semarak dengan deretan kaktus mini yang kelihatan bercahaya di bawah sinar bulan. Dari semuanya, Lena menjatuhkan pilihannya pada Lobivia Oganmaru. Baginya sembulan warna kuning yang begitu mencolok melambangkan kepercayaan diri.

Malam itu Bernad dan Lena seperti dihanyutkan sampai ke laut. Pembicaraan mereka seperti tak berujung.

"Len aku kok kepikiran cari jodoh buat Bro ya?" Lena yang tengah asyik menyeruput float kedondong tersedak, "Eh sampe keselek gitu kenapa emangnya?" Bernad tertawa.

"Enggak, kaget aja.."

"Lucu ya? Tapi kayaknya seru kalo kita punya bayi golden. Ya nggak?"

"Kita?" Lena langsung sumringah, membayangkan ia akan berlarian di rumput basah dengan telanjang kaki ditemani bayi golden. Namun, ia tersadar membeli golden tak semudah membeli permen. Untuk pertama kalinya ia ragu pada kata kita yang biasanya mereka ucapkan. Tampaknya Bernad menyadari perubahan itu.

"Tenang Len, goldennya punya tanteku, tante Suci. Dia udah bosen jadi dikasik ke aku deh. Kita rawat bareng-bareng ya baby panda?" Bernad mencubit pelan hidung Lena, mengembalikan wajah sumringahnya.

Lena POV

Aku mengikat rambutku asal saja, membiarkan beberapa bagian menyembul keluar. Bernad sudah menungguku di luar. Kugosok-gosokkan tanganku. Entah kenapa aku merasa sangat beruap pagi ini. Apakah ini karena anjing baru ataukah Bernad? Aku geli sendiri, aneh rasanya harus mengakui aku beruap karena mereka berdua. Maafkan aku Bernad, aku berbisik sambil terkikik sendiri.

"Pagi Len," Bernad mengecup lembut keningku, aku tersenyum. Tangannya merangkul pinggangku.

"Pagi Nad.."

"Berangkat yuk? Jemput golden.. aduh namanya sapa ya? Aku lupa." Aku mengangguk saja, memperhatikan Bernad yang bergumam sendiri, mengingat nama calon golden kami.

Memasuki rumah Tante Suci, Lena tercengang. Matanya lekat tertancap pada pagar tanaman soka yang begitu anggun, bentuknya rapi dan simetris. Bermacam-macam anggrek yang tergantung indah di dinding dengan bunga-bunganya yang menjuntai kebawah juga mengalihkan perhatiannya. Rasanya Lena seperti dicuci matanya, setelah belakangan ini yang dilihatnya adalah tumpukan kertas dan radiasi komputer yang memuakkan matanya. Lena sampai tak memerhatikan Tante Suci yang tersenyum hangat membawa loyang penuh dengan kue jahe fresh dari oven.

"Bernad.. Ya ampun udah gede aja keponakan tante.. tinggi banget, weleh udah berani bawa cewe juga." Lena langsung menoleh kemudian tersenyum salah tingkah.

"Iya tante kenalin ini Lena, pacarku." Bernad spontan melingkarkan tangannya pada bahu Lena. Tante Suci tersenyum.

Tak terasa sepuluh tahun sudah Bernad bertahan tanpa orang tua. Sejak kecelakaan beruntun yang menimpa orang tuanya, Bernad benar-benar terpukul. Kehilangan cinta sempat membuatnya limbung. Tante suci menyadari itu, ia menatap awan yang bergerak halus seperti ditiup. Ia tahu seperti awan yang datang dan pergi, cintapun juga demikian. Walaupun cinta hadir dalam rupa-rupa yang berbeda cinta tetap cinta. Semuanya hanya butuh waktu. Ia senang keponakannya mampu mengiklaskan awan itu pergi dan menyongsong awan yang baru, sehingga langit hatinya tak lagi gersang. Memang langit yang kosong dan hanya biru sangat indah tapi tanpa awan keindahan itu hancur lebur. Siapa yang tahan berdiri dibawah langit tanpa awan? Demikian juga hati.

"Iya nama anjingnya Kenna, tapi tante biasa pangil dia Ken, biar nggak ribet. Tolong dirawat ya," Tante Suci melepas Ken.

Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang