Keping 22 Morning Kiss

51 7 0
                                    


Tak ada yang bisa dibacarakan lagi. Baik Bernad maupun Lena tak berniat menghabiskan makan malam mereka. Lena bangkit berdiri, Bernad langsung paham, ia tak bisa menahan Lena lebih lama lagi di cafe ini. Lembut, ia menggandeng Lena pulang. Jemari Lena tak meronta, tapi tak juga erat menggenggam Bernad.

Dalam perjalanan, Bernad merutuki segala perbuatannya. Hatinya dihancurkan hanya karena setetes air mata Lena. Bernad termakan api cemburu. Bernad merasa ia telah meruntuhkan tembok-tembok keadilan dan cinta, membiarkan Lena terpelanting ke sudut tanpa sedikitpun mendengarkan pembelaannya.

"Len, aku minta maaf." Bernad masih menggenggam tangan Lena, berdiri berhadapan di depan pagar rumah Lena.

"Gapapa, aku masuk dulu ya." Lena menunduk, melepaskan genggaman tangan Bernad. Angin malam membawa semerbak aroma khas Lena, aroma yang sangat menentramkan hati. Bernad mendekapnya dalam diam.

Lena POV

Sudah berkali-kali kupejamkan mataku, namun seperti tertarik magnet, kelopakku kembali terbuka. Tak enak menghadap ke tembok, kubalikkan badanku menatap emas langit yang bertaburan begitu saja lewat jendelaku. Beranikah aku jujur?

Sebenarnya memang aku yang salah, menyembunyikan semuanya ini dari Bernad. Mungkinkah Bernad membisu karena Steven? Tidak mungkin, kecuali jika Steven benar-benar rekan kerja Bernad. Ah! Semua ini benar-benar membingungkan. Bernad, aku pasti akan membuka mulutku, tapi tidak untuk saat ini. Bukankah kita imbang? Bukankah kamu juga menyembunyikan sesuatu?

Pukul 04.15 From Bernad

"Len lari pagi yuk.. aku jemput satu jam lagi ya?"

Lena menatap layar handphonenya, kemudian meletakkannya kembali di bawah bantal. Ia menghenyakakkan tubuhnya dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Sebelum melihat pantulan wajahnya di cermin, Lena sudah bisa menebak seperti apa tampaknya. Benar saja, kusut, mata sembab, merah dengan hadiah spesial kantong hitam besar. Tangannya lekas membuka lemari kecil yang menggantung di dinding kamar mandi, menyeringai kecil ketika menemukan apa yang ia cari. Masker mata.

Cukup 5 menit saja kantong hitam itu telah diselimuti masker mata keemasan. Langkahnya kembali gontai menuju ranjang. Lena kembali terbenam dalam selimut, sama sekali tak siap bertemu Bernad. Tapi bagaimana? Ia tetao tak bisa menolak.

"Len.." Bernad benar-benar tak berbohong, satu jam berlalu dan kini ia sedang mengetuk-ngetuk pelan pintu rumah Lena.

"Halo.." Pintu itu terbuka, memperlihatkan gadis kecil dalam setelan baju sport soft pink. Gadis itu tersenyum tipis dan tak lagi berani menatap Bernad. Sekali lagi, hati Bernad remuk. Sungguh Bernad tak bisa lagi melihat Lena menangis. Kedua telapak tangan Bernad membuat kepala gadis kecil itu mendongak. Lembut ia mencium bibir Lena. Bibir itu terasa dingin dan rapuh. Bernad semakin dalam, berusaha meyakinkan Lena. Baru semenit kemudian, semuanya tampak begitu berarti, perlahan Bernad melepaskan ciumannya. Baik Bernad maupun Lena tak berbicara apapun tapi mereka sudah mengerti perang dingin mereka telah usai.

"Tiga putaran.. huh.." Lena terengah-engah, "Kamu kalah Nad." Bernad yang hanya menyelesaikan dua putaran berdiri, mengacak-ngacak rambut Lena.

"Hebat sayang, mau jus jeruk?"

"Boleh" Lena sumringah.

Mereka duduk pada sebuah bangku yang menghadap danau. Angin semilir dan capung-capung yang terbang beriringan menemani mereka pagi itu. Lena mengayun-ayunkan kakinya kemudian melirik Bernad.

"Eh kamu pucet banget." Lena menangkupkan tangannya di dahi Bernad.

"Masa sih? Wah.. gara-gara belum sarapan nih makan aja yuk." Lena mengangguk cepat, bukan karena dia lapar tapi karena melihat perubahan drastis dari Bernad.

Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang