Keping 15 Hujan

44 10 0
                                    


Bernad POV

Ada apa ini? Aku mencengkeram kuat-kuat punggungku, berusaha menopang tubuhku sendiri setidaknya sampai aku di dalam rumah. Mungkin aku kepayahan bekerja. Kubuka pintu mobil lebar-lebar dan keras supaya nantinya bisa tertutup sendiri tanpa aku harus menuntupnya. Aku sudah tidak kuat lagi, rasa sakit ini semakin menjadi-jadi, merambat pada setiap persendianku. Aku terhuyung masuk rumah.

Jarum jam tepat menunjukkan pukul sebelas. Kuhantamkan tubuhku di sofa. Lena, nama itu tiba-tiba menyusup, menyelinap masuk di pikiranku. Tapi aku membiarkannya, sama sekali tidak keberatan. Memikirkannya membuat sakit ini mereda. Pasti Lena sudah terlelap, terbuai dalam mimpi-mimpi yang akan terus menemaninya sampai besok. Aku tersenyum dan terlelap.

Lena POV

Sekarang sudah sangat larut dan aku baru saja selesai dengan evaluasi perusahaan. Dari jendela kantor, kulihat bumi dihujam ribuan air. Semua orang pasti sudah meringkuk dalam selimut, sementara aku kebingungan mencari-mencari cara supaya setidak-tidaknya bisa keluar dari kantor ini tanpa harus basah kuyup. Taxi? Tapi sudah hampir dini hari dan aku tidak memiliki cukup nyali untuk memesannya. Magda? Ia sangat beruntung karena bisa pulang lebih awal dengan ribuan alasannya dan pasti ia tidak sudi diusik lagi. Bernad? Aku ragu, akhir-akhir ini pekerjaannya membeludak. Tapi akhirnya aku mencoba.

Pukul 23.15

Nad udah tidur?

Message delivered.

Hanya itu, aku tidak sampai hati kalau harus memintanya menjemputku. Bernad pasti sudah tidur. Semoga ia membukanya, tapi aku tak bisa berharap banyak.

Setengah jam berlalu bagaikan seabad. Kegelisahan mulai merayap bercampur letih yang tak tertahankan. Bernad pasti benar-benar tidur. Aku menimbang-nimbang, beranikah aku pulang dicengkeram gelap malam? Aku masih terdiam, mungkin sepuluh menit. Aku baru beranjak saat Mas Joko berdehem, aku tersadar bahwa sedari tadi ia tak pulang karena menungguku. Aku melangkah keluar diliputi rasa takut. Kuyakinkan diriku sendiri bahwa hujan akan menemani langkahku.

Aku mulai berjalan, belum ada lima langkah aku sudah separuh basah. Hujan tak tanggung-tanggung menemaniku. Guyuran airnya menusuk-nusuk kulitku, mengingatkanku supaya tak lengah. Dingingnya, menggetarkan kakiku diiringi gigiku yang bergemeletuk. Mungkin hujan memintaku menari agar malam tidak terasa menjengahkan. Langkahku melambat, mungkin hujan ingin mengajakku bicara empat mata. Pandanganku berputar, hujan telah membuatku jatuh cinta sehingga aku tak lagi bisa menatapnya.

"Len! Lena!... Len!" Apa hujan memanggilku? Dan hap aku ditangkapnya, mungkin kita sedang berdansa. Tidak, aku sedang dininabobokkan, karena setelah itu aku tak tahu lagi.

Lena mengerjap-ngerjapkan matanya, menatap langit-langit, ia memicingkan matanya dan langsung terperanjat.

"Aku dimana?" Sekonyong-konyong Lena berteriak. Seperti kehabisan tenaga karena teriakannya, tubuhnya langsung berguncang, menggigil.

"Dirumahmu Len.. ini minum air anget dulu." Seseorang menyodorkan segelas air yang terasa begitu panas di tangan Lena. Steven.

"Iya.. kaget banget sih? Emang aku ini maling ya?" Steven memasang tampang pura-pura kesal.

"Kok..Kok kamu disini?"

"Lena.. Lena aku britau ya.. tadi itu ada cewe jalan sendirian hujan-hujan lagi.. eh tau tau pingsan ya aku bawa kesini deh." Lena teringat, tadi ia baru saja ditemani hujan, "Udah sekarang kamu minum air anget ya.. itu ada bubur ayam sama obat, dimakan ya terus langsung tidur. Aku pulang dulu." Steven berdiri mengacak-ngacak rambut Lena, tersenyum lebar dan berjalan menjauhinya.

"Makasih.." Hanya itu yang terucap dari bibir pucat Lena.

Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang