Keping 19 Rencana Besar

44 7 0
                                    

"Apa bedanya sama kamu HA?! Kalo aja kita ga ketemu, kalo aja kamu ga buat aku hamil semuanya ga kayak gini kan?" Nafas Santi memburu "Jon aku mau kita cerai!"

"Oke kalo kamu mau cerai gapapa.. aku juga udah muak sama perkawinan ini."

Kali ini Lena tak tahan lagi. Memang tak setetespun air matanya keluar, namun hatinya sudah tak berbentuk lagi. Ia bangkit dan membuka keras pintu kamarnya.

"Ma.. Pa.. kalo aku cuman jadi beban buat mama sama papa, lepas aku. Aku tau kalo aku bukan anak yang diharapkan."

"Lena! Kamu harusnya di kamar! Jangan ikut campur!" Jonny membentak Lena

"Pa.. aku bukan anak kecil lagi, seharusnya papa mama mikirin perasaan anaknya bukan malah berantem di depan anaknya. Oh aku baru ingat, mama papa ga seneng aku ada kan? Besok hari kelulusanku, ada promnight di sekolahku. Papa mama lupa kan?" Jonny dan Santi terdiam. Tak biasanya Lena seperti ini, berbicara sebanyak ini. Tapi semuanya memang benar, tak ada lagi yang perlu dibantah.

"Len, aku ga pernah nyangka kamu punya masa lalu yang kayak gitu. Kok kamu nggak pernah cerita sih?" Magda menggenggam tangan Lena. Ia tahu butuh keberanian besar untuk membongkar masa lalu yang kelam.

"Untuk apa Da? Apa gunanya? Aku udah bahagia sama kehidupanku sekarang."

"Sorry ya Len, aku nggak bermaksud ngingetin kamu sama kejadian itu. Tapi satu pertanyaan lagi apa hubungannya sama Steven?"

Lena memejamkan matanya. Ia memikirkan bagaimana cara menyingkat jawaban yang begitu panjang dan rumit.

"Aku emang salah Da. Steven cuman pelarianku aja. Dulu, aku nggak bener-bener cinta sama dia. Aku nggak pernah nyangka Steven bener-bener cinta sama aku. Aku mutusin pindah ke Jakarta waktu mama papaku cerai. Aku ninggalin Steven gitu aja karna aku ngira cinta kita itu cinta monyet biasa." Lena tertunduk kembali. Ia mencoba merasakan dan menyimpulkan rasa sakit apa ini. Rasanya sebilah pedang telah menusuk hatinya.

"Dulu?" Magda menatap mata Lena, mencari-cari kejujuran. Hening lama.

"Da, aku nggak akan ngehalangin kamu sama Steven. Kita udah punya jalan masing-masing." Kalimat itu terlontar begitu saja. Lena berharap semoga hatinyalah yang bersuara. Tapi kenapa begitu menyakitkan?

Steven POV

Pukul 10.00, From Lena

Ven sibuk? Bisa anter aku ke studio foto? Sekarang aku ada di kantor.

Sudah sepuluh kali aku membaca pesan itu dan mataku masih membelalak tak percaya. Tanganku mulai memerah karena aku menghajarnya berulang-ulang dengan cubitan. Bukan mimpi, mengantar Lena pulang adalah terakhir kalinya aku bertatap muka, mata dengan mata sampai saat ini.

Kulirik Bernad sekilas, Bernad terlihat begitu sibuk dengan printer di mejanya. Mungkin printer itu membutuhkan makanan ekstra untu kerja yang ekstra. Sambil terus meliriknya, hatiku berteriak-teriak mengulang pertanyaan yang sama. Haruskah aku mengkhianati Bernad? Aku menghembuskan napas, mencari-cari titik terang. Kupikir kesempatan tak datang dua kali. Mantap aku berdiri, maafkan aku Bernad kali ini kesempatan itu milikku.

Lena berdiri, matanya menjelajahi setiap sudut jalan. Hatinya yang semula bimbang kini berpendar penuh keyakinan. Meskipun Steven tak menggubris pesanya, Lena tahu Steven tak akan melewatkannya. Lena sudah memikirkannya semalaman, rencananya ini mungkin akan menyakitkan di awal. Namun justru akan menyelamatkan hatinya sebelum terpeleset ke jurang yang kelam.

"Jadi, siapa yang jemput kita?" Magda menghampiri tergopoh-gopoh, sesekali melirik arlojinya.

"Emh.. itu dia." Lena langsung menunjuk ke arah sedan hitam yang mulai memasuki area parkir. Magda langsung salah tingkah, bingung harus mengumpat atau berterimakasih.

Kamu NafaskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang