18

557 53 0
                                    

"Tumben nyamperin?" Deron melihat Hilda dari bawah sampai atas.

"Retta gak masuk."

"Tch, jadi kalo dia gak masuk larinya ke gue? Setau gue lu ngindarin gue." Deron melangkah, Hilda mengikutinya di samping. "Luka lu gimana?"

"Ya udah dikasih obat tinggal nunggu sembuh, kan?"

"O-oh.." Respon Hilda singkat. Suasana diantara mereka berdua menjadi hening, cuma ditemani suara gaduh para siswa.

"Lu mau ke Luminary?"

Hilda menggeleng pelan. "Kata kak Sela disuruh istirahat dulu. Kak Apollo jug-.."

"Apaan sih? Jangan panggil dia Apollo. Aneh." Deron menyela, Hilda melihatnya dengan kebingungan. "Emang lu tau Apollo siapa?"

Deron sempat terdiam. "Kan kemaren gue ikut nonton. Gue kan juga liat RISE."

"Oh.. Mereka kenalin nama panggung mereka, ya? Gue gadenger waktu itu, sorry, hehe."

"Oh ya! Gue penasaran, kok lu bisa tau gue di Luminary? Dan kenapa lu dateng terus? Sampe festival selesai, loh!" Lanjut Hilda. "Kebetulan kali? Gue juga dateng ke festival penasaran sama mekatroniknya."

"Gimana bisa kebetulan? Waktu gue bilang ke Retta buat dateng ke festival, lu tiba-tiba dateng dan bilang mau ke festival itu juga. Padahal festival di kota ini kan banyak. Oh oh! Lu juga tiba-tiba nawarin Retta buat pergi bareng, padahal gue cuma ngasih tau Retta."

"Y-ya gue waktu itu nanyain dia, terus dia kasih tau gue festivalnya dimana."

Hilda menggeleng dengan cepat. "Retta cerita ke gue kalo lu tiba-tiba dateng dan langsung nawarin."

Deron melihat ke arah lain. "Eh! Eh! Itu bus lu, kan? Kalo lu lari sekarang ke halte, busnya masih kekejar!" Deron mendorong Hilda. "Bus gue warna biru, woi anjir jangan dorong! Itu bus warna ungu!"

Author : bahkan warna bus aja oc :)
Hilda : author doang emang -,-

"Yaudah, lu ke kanan, kan? Gue kiri." Deron segera berbelok ke kiri. "Ah! Gak! Gue ke kiri juga, kakak gue bakal jemput gue di toko buku." Hilda menyusul Deron.

Mereka sempat berpapasan dengan tiga siswa yang berseragam sama. "Masih masuk sekolah?"

Deron berdecak, memalingkan matanya dari salah satu dari tiga siswa itu. Salah satunya itu hendak menepuk pundak Deron, tapi Hilda segera menahannya.

"Ooo dia punya bodyguard yang mungil."

Hilda tertawa meremehkan. "Mereka orang yang sama, kan?" Hilda melihat Deron yang masih saja mengerutkan dahinya.

"Hey, dia cewek yang waktu itu, kan?" Sahut salah satunya lagi.

"Terus kenapa kalo gue cewek yang waktu itu?" Tanya balik Hilda.

Deron menghela napas. "Seharusnya lo ke kanan aja tadi. Ini jadi makin ribet kalo ada lu." Hilda mengerutkan dahinya pada Deron. "Lagian juga ngapain lo ladenin orang-orang gak berguna, kan?"

Leher Deron hampir tercekik kalau tidak ditahan Hilda. Dia memelintir tangan siswa itu dan mencekiknya. "Woi anjir, da! Gausah sampe segitunya!" Mata Deron membesar melihat Hilda yang menanggapi permasalahan dengan sangat serius.

Deron melihat salah satu teman dari yang Hilda cekik memegang potongan kayu. Dia menghendap-hendap kebelakang Hilda dan hendak memukulnya dengan kayu itu.

DUK!

Deron menendangnya ke samping dengan cekatan. Deron melawan yang satunya lagi dengan berpindah tumpuan.

Hilda melepas cengkramannya dari leher siswa yang dia cekik. Deron dengan cepat meraih tangan Hilda dan berlari sekencang-kencangnya.

Mereka berhenti di suatu halte. Mereka sama-sama terngah-engah. "Bukannya lebih gampang kalo pake tangan, ya?"

"I can't use my hand." Jawab Deron dengan napasnua yang masih terengah-engah.

"Kenapa?" Hilda bertanya dengan wajah polos. Deron melihat Hilda lumayan lama. "Urusan gue, lu gak perlu tau."

"O-oi..-"

"Lu bukan orang sepenting itu buat tau." Deron memotong kalimat Hilda. "Lu tinggal jalan lurus sebentar, terus udah ketemu toko buku. Gue pulang naik bus aja." Deron mengantungkan kedua tangannya di saku celana.

Hilda tertawa tidak percaya. "Gue gak tau. Kenapa bisa gue ngikutin lo sampe muncul niat pengen bantuin lo?" Hilda membenarkan tas ranselnya, lalu segera berjalan cepat menuju toko buku.

~•~

"Da?? Hilda??" Mila melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajah Hilda.

Hilda mengedipkan kedua matanya beberapa kali. "Oh, ya? Kenapa?"

"Okay, let's take a break." Mila menutup sketchbooknya dan merapikan kertas yang berserakan diatas meja. "Yuu juga bilang kamu akhir-akhir ini lebih sering tidak fokus dan marah-marah sendiri. Kenapa?" Mila menopang dagunya.

"Akhir-akhir ini cuma banyak hal yang terjadi dan itu membuatku jadi sering kepikiran banyak hal yang seharusnya juga tidak perlu dipikirkan. Jadi, kita lanjutkan lagi saja. Bagaimana design barumu?" Hilda hendak mengambil sketchbook Mila.

Mila menahan tangan Hilda dan menggelengkan kepalanya. "Tidak akan kulanjutkan kalau pada akhirnya kamu tidak fokus."

Suasana menjadi sunyi diantara Hilda dan Mila. Tiba-tiba saja suara dering handphone Hilda berbunyi.

"Apa kalian bisa bantu aku?"

Hilda dan Mila saling lihat. Mila melihat Hilda dengan penasaran. "Kamu dimana?"

"Ruang latihan." Hilda mendengar suara rintihan kecil dari Yuu. "Kita kesana!" Hilda dengan cepat mematikam telepon, lalu berdiri tegap. "Kenapa?" Mila masih saja menampilkan wajah bingungnya. "Aku juga gak tau! Kita ke ruang latihan sekarang!" Hilda menarik tangan Mila.

Mila menahan Hilda sebentar, dia mengambil tumpukan kertas dan sketchbook miliknya, lalu mengikuti Hilda dari belakang dengan berlari kecil.

***

"Yuu!" Hilda dan Mila berteriak secara bersamaan. Mila segera mengambil kursi dan Hilda membantu Yuu untuk duduk di kursi itu.

"Kenapa bisa seperti ini?" Mila melihat sekitar, beberapa barang berserakan. "Tanganmu... Kenapa?" Hilda melihat tangan Yuu yang terlihat bengkak.

"Aku memindahkan beberapa barangku dari ruang musik. Mungkin karena terhalang box yang kubawa, jadi aku kurang memperhatikan jalan. Aku terpeleset dan beberapa barang menimpa tangan kananku. Kakiku sepertinya sedikit terkilir." Yuu menunjukkan kaki kirinya dan tangan kanannya yang dia genggam pergelangan tangannya dengan tangan kiri.

"Mila, telepon tantemu." Hilda melihat tangan Yuu lebih dekat. "Kita bisa bantu kapan saja. Kenapa gak minta tolong kita aja?"

Yuu tersenyum kecil. "Maaf, aku takut menganggu kalau tiba-tiba menelpon."

Hilda menggeleng. "Kalaupun kita belum bisa, barang-barangmu bisa dipindahkan nanti." Yuu mengangguk-angguk pelan. "Maaf, aku yang ceroboh. Terima kasih karena kalian datang secepatnya."

Hilda sempat terdiam, lalu tersenyum. "Semoga kamu baik-baik saja."

Ada yang mendobrak pintu dan itu Celandine. "Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Wajah Celandine terlihat sangat panik.

"Rasa sakitnya tidak begitu parah, kan?!" Celandine melihat tangan Yuu. "Y-ya, tidak sesakit tadi, saem."

"Kamu bisa jalan?" Celandine juga melihat kaki Yuu. "Kita yang bantu, kak!" Hilda menunjuk dirinya dan Mila. Celandine mengangguk. "Aku antar ke rumah sakit, ayo."

Idol SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang