Pagi ini udaranya terasa begitu berbeda. Udara pedesaan memang menyejukkan. Masha bangun dan melihat ibunya yang masih terlelap, wajahnya yang penuh memar makin terlihat jelas karena sinar matahari menyinari wajahnya. Masha tersenyum namun wajahnya menunjukkan kesedihan yang sangat mendalam.
Dia berjalan menuju dapur dan membuat sarapan untuk ibu dan neneknya. Dia mengambil bahan seadanya di lemari pendingin dan membuat telur mata sapi untuk tiga orang.memanggang roti, menuangkan susu kedalam gelas. Ini jauh lebih normal dibanding kehidupannya yang lama.
Pandangannya menyebar ke pemandangan di luar rumah. Kemudian dia menatap layar ponselnya. Dia terdiam sesaat, lalu kemudian dia kembali memasukkan ponselnya kedalam saku jaketnya.
"Siapa yang peduli? Dia juga pastinya gak akan peduli sama aku."
"Cucuku sudah bangun?" suara Nenek membuat Masha tersentak dan menumpahkan sedikit susu ke lantai.
"Nenek?"
"Kamu tekejut, sayang? Maafkan nenek. Waah? Kamu buatkan kami semua sarapan?"
"Hehe. Iya, Nek. Setidaknya ini permintaan maafku dan ibuku karna kemarin malam datang dengan seperti itu." Masha menundukkan kepalanya.
Malam itu...
Bus terakhir yang menuju rumah nenek kebetulan masih ada. Masha dan ibunya dengan tergesah-gesah naik ke bus tersebut. Sepanjang perjalanan, Ibunya terlihat begitu tertekan dan tangan yang terus gemetar.
"Bu, udah. Jangan khawatir. Masha ada disini." Masha terus menenangkan Ibunya dan sesekali menyeka air matanya yang rasanya tidak mau berhenti.
Setelah sampai, mereka berdua berjalan ditengah malam yang sepi. Untungnya jarak antara jalan dengan rumah nenek tidak terlalu jauh, dan lagi daerahnya yang aman sehingga mereka tidak perlu takut berjalan di tengah malam seperti ini.
TOK..! TOK..! TOK..!!!!
"Neneeek!"
Neneknya yang saat itu sudah tertidur, sayup-sayup mendengar suara memanggilnya. Dia langsung berlari ke depan rumahnya dan membukakan pintu. Ketika pintu terbuka, seseorang langsung memeluknya erat, tangisannya langsung pecah.
---
"Tidak apa-apa. Ini kan rumahmu juga."
"Makash, ya. Nek."
"Kalo begitu nenek akan bangunkan dulu ibumu ya? Kalo sudah selesai, taruh saja semua sarapannya di meja makan."
Setelah semuanya beres, mereka bertiga sarapan dengan penuh keheningan. Tidak ada sepatah kata apapun yang terlontar dari mulut masing-masing. Setelah sarapan, Masha kembali ke kamar dan membersihkan badannya.
Seharian ini dia berdiam diri di kamar, suasana disini begitu tenang. Tidak seperti biasanya, yang selalu penuh dengan tangisan, teriakan dan kemarahan dan kebencian dimana-mana.
"Hhhh, lingkungan baru. Semoga disini aku bisa memulai semuanya dengan normal. Bisa hidup bahagia dengan nenek dan Ibu disini." Masha bangun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju jendela yang ada di sampinya. Dia membuka jendela itu, dan melihat pemandangan sekitar. Angin yang berhembus lembut membuatnya terbuai. Sejauh mata memandang yang dia lihat hanya padang rumput yang luas dan ladang bunga yang terhampar seperti permadani raksasa. Tiba-tiba dia teringat pada Mischa.
Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum simpul padanya. Wajah tampannya yang terkena sinar matahari pagi, melambaikan tangannya. Mengisyaratkan agar Masha menghampirinya. Lengkap dengan sweater oversize-nya dan celana trainingnya. Masha tersenyum dan tanpa berfikir panjang, dia turun dari kamarnya dan pergi keluar.
Dia rindu Mischa. Angin menerbangkan helai per helai rambutnya. Dia penuh semangat berlari pada Mischa.
"Mischa!" Teriak Masha. Di tempat Mischa berdiri, kini tidak ada siapa-siapa. Kekecewaan seketika menyeruak dalam hatinya. Air matanya jatuh. Dia merasa gila hanya karena merindukan seseorang.
Masha tertunduk lesu dan menangis. Dia lupa, dia pergi bukan hanya meninggalkan semua kepedihannya di kota itu, tapi dia juga meninggalkan cintanya, Mischa. Mana bisa seperti ini? Mana bisa kebahagiaan terus dirusak oleh derita seperti ini. Tiba-tiba suara deburan ombak membuatnya penasaran. Dia mencari sumber suara tersebut. Dia berjalan menjauh dari rumah neneknya.
Cuaca disini memang selalu teduh, matahari seakan tertutup oleh awan yang sangat tebal. Dari ketinggian tebing, dia melihat hamparan laut lepas yang indah. Itu memukau matanya. Dia pergi ke tepi tebing, dan duduk disana. Dia terpesona sehingga dia ingin tinggal untuk sekejap menenangkan setiap pikirannya yang kalut.
"Apa pernah kamu rindu padaku Mischa? Apa kamu pernah sadar, bahwa aku tak ada di sisimu saat ini? Hhhhhhm, mungkin ini semua harus berakhir sampai disini. Kita benar-benar sudah berakhir, Mischa."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Frozen
Fantasía#1 dalam Vika Levina - 3 Maret 2021 #7 dalam Vika Levina - 27 Februari 2021 #1 dalam Avan Jogia - 11 Juli 2019 #2 dalam Avan Jogia - 7 Juli 2019 #11 dalam Avan Jogia - 6 Juli 2019 #96 dalam FANTASY - 13 Januari 2018 Hidup di keluarga yang berantakan...