Hanya takdir Tuhan yang mampu memisahkan. Begitulah mungkin sepenggal kalimat yang biasa diucapkan oleh beberapa pasangan. Bukan, kalimat itu bukan sekedar kalimat yang muncul dalam naskah drama picisan bergenre romantis. Namun merupakan sepenggal kalimat yang mampun meneguhkan hati seseorang bahwa melalui pasangannyalah dirinya mampu mendefinisikan tentang kesederhanaan makna bahagia.
Bahkan jika benar-benar takdir Tuhan pun yang berkehendak dalam memisahkan mereka, maka akankah mereka masih mampu untuk mendefinisikan bagaimana makna bahagia itu muncul dari ketiadaan seseorang disampingnya? Dalam seketika, setetes rasa pahit yang bisa saja tidak sengaja tertuang, mungkin akan menghilangkan setiap rasa manis yang sudah tercipta sebelumnya.
Saat itu, Jisoo harus merasakannya. Merasakan pahit yang menjalar di lubuk hatinya, setelah dirinya merasakan rasa manis yang memabukkan.
Layar kaca ponselnya menampilkan nama suaminya, dengan antusias ia segera menjawab panggilan tersebut dan bergegas keluar dari ruang kerjanya. Kiranya, Namjoon sudah tiba di depan gedung perusahaannya untuk menjemputnya pulang. Sudah hampir dua bulan ini Namjoon mengantar jemput sang istri bekerja, baru dua bulan yang lalu lelaki itu mengantongi surat ijin mengemudi.
Namun, suara yang terdengar ditelinga Jisoo bukanlah suara dari seseorang yang ia tunggu, terlebih kalimat yang diucapkannya pun jauh dari apa yang diharapkan oleh wanita itu.
Tepat setelah dirinya keluar dan menutup pintu ruang kerjanya, tubuhnya melemah seketika, kedua lututnya tidak lagi kuat menopang dirinya. Ponselnya lebih dulu terlepas dari genggamannya, dibiarkan tergeletak di lantai tidak jauh dari tempat dirinya saat ini.
Pandangannya sudah mengabur akibat genangan air mata dipelupuknya yang sudah terjatuh dalam sekejap. Ia mengabaikan berbagai pertanyaan atau pun bantuan dari seluruh karyawannya.
Jisoo berteriak histeris, tangan kanannya yang terkepal memukul-mukul dadanya sendiri. Sebegitu pahitkah rasanya, ujian yang Tuhan berikan untuk menguatkan dirinya, meyakinkan hatinya akan kesederhanaan makna bahagia?
.
Hingga tengah malam, Jisoo mencoba bertahan untuk berada dalam tingkat kesadaran yang utuh, meski sulit.
Meski proses penyelamatan nyawa Kim Namjoon yang kemungkinannya sangat kecil itu telah selesai dan dinyatakan berhasil diselamatkan. Namun itu belum bisa membuat Jisoo bernapas lega atau pun sekedar menghentikan isak tangisnya. Ia harus melihat kondisi mengenaskan dari sang suami.
Ditambah lagi dengan aturan bahwa siapa pun yang ingin melihat kondisi Namjoon, harus memakai pakaian yang disediakan oleh rumah sakit dengan waktu yang sudah ditentukan.
Kain perban terlilit di bagian atas kepala dan juga di tangan kanan lelaki itu. Alat bantu pernapasan menutupi hidung dan mulutnya. Bahkan disekeliling lehernya terdapat alat penyangga dan masih ada beberapa alat bantu lain yang terpasang di sekujur tubuh lelaki itu untuk membantu lelaki itu agar tetap bertahan hidup.
Dihadapan lelaki itu Jisoo kembali menangis melihat pemandangan menyakitkan dari lelakinya. Ini kedua kalinya Jisoo menangis dihadapan Namjoon. Digenggamnya tangan Namjoon yang terdapat selang infus.
"Joon-ah.. Ini aku. Kau bisa mendengarnya 'kan? Bangunlah, ku mohon. Kau bilang kau janji akan terus menggenggam tanganku. Tapi sekarang? Kau bahkan tidak bisa membalas genggaman tanganku. Kau bilang kau akan berada di sampingku. Tapi apa? Sekarang hanya karena para dokter dan segala aturannya itu, malam ini aku harus tidur sendiri. Kau tidak ingin membuatku menangis 'kan? Tapi kau sudah melakukannya sekarang," Sekuat tenaga Jisoo mencoba untuk menghentikan tangisnya, ia menghapus seluruh air mata yang membasahi wajahnya.
"Joon-ah.. Lihat bajumu sekarang! Kalau kau keluar dari sini, kau bisa melihat baju yang sama denganmu ini dipakai oleh banyak orang. Apa kau tidak malu? Mana Kim Namjoon yang katanya hanya memakai baju dengan merk ternama? Mana yang katanya punya selera fashion yang berkelas? Ayolah, aku juga tidak suka melihatmu pakai baju itu. Bangunlah, ganti bajumu!! Piyamamu bahkan lebih keren dibandingkan baju itu," Lagi-lagi Jisoo kembali terisak, terlebih waktu yang diberikan untuk melihat suaminya itu sudah habis.
Sebelum meninggalkan Namjoon, Jisoo mengecup tulang pipi milik lelaki itu, cukup lama. Air matanya kembali menetes.
"Aku selalu mencintaimu."
.
Terhitung hampir satu minggu, Namjoon masih belum mencapai kesadarannya. Dan selama satu minggu itu pula Jisoo masih belum bisa mengembalikan kondisinya yang kacau.
Bahkan Jinyoung, sahabatnya yang dulu sering kali membuat dirinya tenang pun kali ini tidak bisa menghibur perempuan itu. Apalagi Jisoo mengingat apa yang sudah sahabatnya lakukan terhadap suaminya, di pesta beberapa bulan yang lalu. Jisoo menolak untuk kembali mencurahkan keluh kesahnya pada Jinyoung.
Dipindahkannya lelaki itu ke ruang rawat inap, bukanlah sesuatu hal yang bisa menghentikan Jisoo meneteskan air matanya.
Terlebih lagi selama satu minggu itu pula Jisoo menyaksikan perempuan lain di ruang rawat suaminya yang tengah merawat lelaki itu seharian. Keberadaan Seungwan di sana bukan tanpa alasan, melainkan karena Jisoo sendiri yang meminta perempuan itu untuk menjaga Namjoon selama Jisoo bekerja.
Dalam kondisi seperti ini, Jisoo masih menyibukkan dirinya mengurus perusahaan, alasannya karena proyek yang ia rancang bersama suaminya itu hampir selesai, dan Jisoo tidak ingin menghentikan proyek yang sudah ditunggu-tunggu oleh seluruh investor. Dan juga karena ini adalah proyek yang diinginkan oleh Namjoon. Beruntung ada Hongseok yang bersedia membantu dirinya.
Dan dari luar ruangan Namjoon, dari kaca kecil yang ada di pintu ruangan itu, bisa Jisoo lihat perempuan yang namanya sempat enggan ia dengar dari mulut Namjoon itu, kini tengah duduk disamping tempat tidur lelaki itu sambil membacakan sebuah buku untuk Namjoon. Dan tentu Jisoo ingat, yang dilakukan perempuan itu adalah permintaan Jisoo sendiri.
Namun, bukan berarti dirinya baik-baik saja karena ada yang merawat suaminya selama ia disibukkan dengan pekerjaannya. Bagaimana mungkin ia baik-baik saja saat melihat perempuan yang pernah singgah di hati suaminya itu mengambil alih tugasnya sebagai seorang istri?
Di balik pintu ruangan itu Jisoo kembali menangis terisak. Tangannya menutup mulutnya agar isak tangisnya tidak mengganggu ketenangan rumah sakit malam hari itu.
Isak tangisnya berhenti seketika, digantikan dengan jerit pelan kesakitan dari mulut Jisoo. Kedua tangannya meremas kuat bagian perutnya, ia bersandar pada dinding di samping pintu ruangan, menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
Saat itu juga ia melihat dokter dan beberapa perawat berlari panik memasuki ruang rawat Namjoon. Salah satu perawat berhenti di hadapannya menanyakan keadaan Jisoo.
Namun Jisoo tak kunjung menjawab, ia terus menjerit kesakitan. Di sisi lain, Jisoo juga panik, ia ingin tau apa yang terjadi pada suaminya. Tetapi ia juga tidak kuat menahan kesakitan di bagian perutnya, bisa ia rasakan pula adanya cairan yang mengalir di salah satu kakinya. Rasa sakitnya semakin menjadi. Hingga akhirnya kesadarannya hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BTS WINGS SERIES] REFLECTION -RapMonster-
Hayran KurguYou're Not Lonely Even You are Alone