Chapter-02: Semua Bertemu Karena dan Untuk Sebuah Alasan

12.2K 1.1K 153
                                    

Kalau tak siap, tahan saja rasamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau tak siap, tahan saja rasamu. Mengungkapkan tak semudah merasa. Dan lebih dari itu, pembuktian tak semudah mengungkapkan.

***

Mobil itu kembali melaju setelah menurunkan gue. Posisinya nggak jauh dari gerbang sekolah yang ukurannya lebar dan membentang. Jelas gue nggak akan nemu gerbang sekolah yang kayak gini kalau di desa. Tenang saja, gue tetap mencium tangannya tadi sebelum gue keluar dari mobil. Sekalipun gue langsung menarik diri waktu dia mencoba mengelus kepala gue dengan tangannya yang lain. Bukan karena gue takut tatanan rambut gue akan rusak, toh rambut gue juga nggak ada gaya apa-apa, tapi karena, anggap saja gue nggak ingin diperlakukan seperti itu olehnya.

Lupakan.

Ini hari pertama gue mau mencicip rasanya belajar di 'kota'. Seperti apa sistemnya gue penasaran.

Sebelum memutuskan masuk ke area sekolah yang luasnya pake banget, gue berdiri agak jauh dari gerbang. Cuma pengin mengamati dan menggeleng sesaat untuk berheran pada keputusan Ayah bahwa gue ke Jakarta cuma mau lanjut di sekolah sebesar dan semewah ini. Entah apa yang membuat ribuan peserta ikut seleksi masuk. Dan kenyataannya gue pun ikutan daftar juga.

Tapi serius, ada satu hal yang bikin gue sedikit bisa toleran, yaitu alasan kenapa sekarang di punggung gue ada gitar akustik. Ternyata di sekolah ini ada klub khusus penikmat musik akustik. Ya gue seneng lah karena itu favorit gue banget, makanya waktu itu gue langsung daftar dan semangat bawa si doi, gitar gue, ke sekolah buat jadi rekan seleksi. Harusnya sih gue nggak perlu heran ya karena ini kan 'kota'. Which is sesuatu yang semacam ini udah pasti ada. Gue udah ngisi formulir pandaftaran, dan kebetulan hari ini juga pertemuan pertama klub minat tersebut.

SMA gue ini selalu ramai. Iya, gue sudah melihat sendiri keadaannya waktu MOPD yang sampai menjelang maghrib acaranya. Bukan acara penindasan yang terdengar seperti kasus sadis pada umumnya. Kayaknya sekolah gue ini agak lesu untuk mengadakan acara MOPD yang kayak gitu. Nggak ada senioritas atau penindasan saat MOPD di sini. Melainkan, yang tercium justru adalah aroma kasta. Ada semacam pembeda antara siapa yang memiliki, sebut saja, kekayaan yang paling besar. Dan itu bukan dari pihak sekolah, tapi siswanya. Itu dia, satu hal yang gue benci dari sekolah elit. Gue memang nggak pernah setuju masuk sekolah ini. Makanya kalau ditanya sama teman gue yang pernah SMP bareng, gue jawabnya, 'aah, SMA gue nggak lebih baik dari SMA kalian di sana,' dan ketika mereka menjawab, 'masa siswa yang masuk sepuluh besar nilai UN terbaik se-Jateng sekolah di SMA yang biasa-biasa saja,' well, pada akhirnya gue harus mikir kebohongan sekali lagi. Jadi memang benar, tidak ada kebohongan yang berdiri sendiri.

Setelah puas memandang gedung megah itu, gue mulai berjalan melewati gerbang kemudian. Satu dua orang terlihat ada yang bawa alat musik juga, mungkin salah satu dari mereka akan jadi teman gue nanti.

Kelas gue ada di gedung C lantai dua. Itu artinya gue harus berjalan cukup jauh. Tapi nggak apa-apa, yang penting gue bisa lebih tahu seluk beluk lingkungan sekolah kalau ambil rute yang berjarak. Gue usaha sekali supaya tampil biasa-biasa saja ketika masuk nanti. Dua minggu ini gue juga sudah berusaha keras supaya nggak terdengar medok waktu bicara, agaknya berhasil. Jadi semoga hari pertama ini berjalan dengan baik.

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang