Chapter - 23: Ayah, Tentang Rindu

6.6K 864 189
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Putar video di atas, baik sebelum atau sesudah baca chapter ini. ☺

***
CHAPTER INI SAYA DEDIKASIKAN UNTUK SELURUH AYAH DAN ANAK LAKI-LAKINYA.
***

***🎸Nafis🎸

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***
🎸Nafis🎸

***

Saat itu seperti detik pertama lagu 'Father And Son' milik Cat Stevens mulai mengalun. Memang lagu lawas, tapi karya seorang seniman tak akan pernah mati oleh zaman. Kamar gue yang hanya diterangi temaram lampu tidur masih cukup jelas untuk menggambarkan sosok di sisi lain tempat tidur. Gue menatap wajah ayah yang terpejam pulas. Kepalanya masih memakai kopyah hitam, sepertinya dia habis sholat isya sebelum memutuskan bergabung di sisi gue. Napasnya teratur. Seperti saat itu adalah momen terbaik miliknya untuk menukar lelah dengan waktu senyap bersama anak laki-lakinya.

Tubuh gue mendadak seringan kapas. Tak ada lagi demam yang menyengat, meski masih ada sisa bara yang sedari tadi memanggang temperatur badan. Kalian tahu kan bagaimana rasanya ketika demam turun? Mata perih dan tubuh ringan.

Sekali lagi, gue ingin jujur soal ayah. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seseorang yang siangnya meledak-ledak bisa menjelma menjadi malaikat ketika di rumah. Melihat dia yang tak berselimut tapi pulasnya tetap tampak tulus itu sungguh menggigilkan hati. Hari ini alasan ayah marah adalah seutuhnya karena gue. Memang nggak sopan sama sekali waktu gue nyelonong keluar. Tapi mau bagaimana lagi? Gue sudah dikuasai perasaan sebal oleh segalanya sebelum saat itu. Bukan soal ayah.

Tenggorokan gue terasa kering. Benar-benar kering bahkan sampai susah menelan ludah. Di nakas ada segelas air putih yang sepertinya beberapa saat yang lalu panas mengepul, kini menjadi dingin tanggung. Gue butuh air hangat untuk minum.

Tanpa berusaha membangunkan ayah, gue berderap melepas diri dari dua lapis selimut. Ayah benar-benar tak terusik oleh pergerakan gue. Ya, ini bukti, bahwa lelapnya itu adalah tebusan sempurna untuk lelahnya yang sekian banyak. Gue ragu-ragu saat keinginan untuk menyelimutinya melintas di kepala, tapi akhirnya bisa menumpaskan ragu itu dengan sedikit gemetar menyelimuti ayah tanpa membangunkannya.

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang