🎻Louisa🎻
***
Tak bisa aku lupa bagaimana semalam nada itu melengking di dalam kepalaku. Aih, Alex. Bagaimana bisa kamu menggubah nada sesederhana itu menjadi kesan tersendiri ketika diterjemahkan dalam instrumen. Terkhusus, dia seperti sengaja membuat nada itu agar terdengar lebih pantas dengan violin.
Baiklah, ini hari pertama. Aku harap bisa menemukan alasan yang baik agar bisa mengiyakan ajakannya untuk ikut klub yang digawanginya itu. Sebenarnya aku sudah punya ketertarikan untuk itu, hanya saja aku malu untuk mengatakan, sementara sebelum-sebelumnya aku yang menolaknya untuk bergabung. Setelah semalam aku memikirkannya, umm, ya, kurasa Alex layak mendapat sedikit perhatianku.
Umm, gini, bukan berarti aku mematok harga tinggi atau ingin diupayakan oleh seorang cowok lebih keras lagi, tapi aku hanya ingin tahu kesiapanku sendiri untuk menyambutnya. Aku merenungkan baik-baik apakah aku siap apabila?
Mama terlihat membaik pagi ini. Dia terbangun dengan wajah segar dan semangat yang tak bergeser sedikit saja untuk menghidangkan menu. Aku? Hei, memalukan bukan kalau anak gadis tidak pandai membantu mamanya? Terlebih jika soal masak. Itu kecil buatku. Mama yang latar belakangnya lulusan ekonomi dan pernah bekerja di perbankan justru bisa pandai sekali memasak. Aku tak mau kalah. Mama bisa, aku harus bisa juga.
Aku sudah memasang senyum terbaikku saat suara sepeda motor memasuki pelataran rumah. Aku tahu itu dia. Tak lama kemudian Mama masuk ke kamarku. Tidak langsung berbicara, karena seperti biasa Mama akan menatapku dulu yang sedang mematut diri di depan cermin. Aku pikir, Mama sedang mengamati betapa putri kecilnya kini sudah beranjak menjadi seorang gadis. Lalu dia akan berkata, "Lou sudah cantik," dan, ya, itu Mamaku. Dia sudah mengatakannya dua kali pagi ini.
"Calon menantu Mama sudah datang, tuh."
Aku cepat-cepat menoleh, "Ma? Apa-apaan sih?" dia pasti puas karena pipiku matang dibuatnya.
"Coba Papa kamu dulu waktu muda seromantis Alex. Pasti Mama bakal punya sejarah masa muda yang manis."
"Papa sudah sempurna tanpa Lou harus tahu bagaimana masa mudanya," jawabku sambil menyematkan satu jepitan berbentuk kawat pada juntaian dekat telinga.
"Tapi tetap nggak semanis Alex."
Aku memutar bola mata, "Ma, kami cuma mau ke sekolah, nggak ke mana-mana. Lagian ini cuma ... semacam berangkat bareng."
Apakah semua Ibu akan seperti Mamaku ketika anak gadisnya beranjak dewasa?
Tapi, Mama tidak seperti ini kepada selain Alex.
"Mm, iya, iya. Dan semalam Mama tahu siapa yang antar kamu beliin obat. Kamu kira Mama sudah pulas?"
Tidak kusangka, "Mas-mas ojek."
"Ojek macam apa jam segitu mau terima penumpang? Ojek ... cin-?"
"Please, Ma."
Dia tertawa lebar sambil mengayunkan cukil nasi, "Sudah, sana berangkat. Udah pukul setengah tujuh ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]
Novela JuvenilSELAMAT MENYELAMI! "This book will change your trouble minded about teenage relationship. Because, being forever is not that simple."