***
🎻Louisa🎻***
Jadi, memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk menolak Alex. Dia hangat. Bisa mengertiku dengan baik. Dekat dengan Mama. Tidak ada masalah dengan keluarga Om Irfan, dan yang paling penting, aku sangat mencintainya.
Waktu terus berjalan sampai akhirnya aku resmi jadi pacar Alex pada malam itu. Iya, mungkin orang pikir aku dan Alex memulainya dengan waktu yang singkat. Nyatanya kami melalui banyak waktu bersama bahkan jauh sebelum hari itu.
Alex Antara, namanya semakin indah bagiku jika hanya mendengarnya saja. Dia tidak pernah memperlakukanku secara nakal, dia tidak romantis tapi sikap apa adanya itu yang kadang membuatku merasa beruntung bisa sedekat itu dengan Alex. Kau tahu, tidak semua cewek suka diperlakukan secara romantis. Untuk apa? Jika kesan manisnya hanya dibuat-buat. Lebih baik yang realistik dan bisa sangat bersikap sebagaimana dirinya yang sesungguhnya. Dan bagi Alex aku sudah berhasil menjadi lingkarannya untuk bersikap nyata.
Mungkin sama seperti orang lain ketika sedang jatuh cinta. Aku juga menanyakan alasan kenapa dia memilihku. Tahu tidak apa jawabnya?
Tak ada.
Dia tidak memiliki alasan untuk dikatakan. Setiap ditanya pasti mikir. "Apa ya? Nggak tahu,"
Aku sudah puas dengan 'nggak tahu'nya itu. Aku juga yakin, jika dia menemukan alasan yang layak keluar sebagai pendapatnya, itu bukanlah seperti 'Karena kamu cantik, karena kamu baik, karena kamu orang terdekatku,' Alex bukan sebodoh itu. Yang keluar dari mulutnya bukan sesuatu yang puitis, tapi apa yang jarinya katakan lewat tuts piano itu lebih dari apa yang bisa kujelaskan tentang perasaan. Salah kalau seseorang pernah bilang Alex tipikal mellow, dia bukan. Alex orangnya santai dan memiliki lingkaran batas untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Misalnya, batas terjauhnya adalah aku. Karena selama ini yang kulihat ketika Alex berinteraksi di sekolah bukanlah dia seutuhnya, dia menyembunyikan siapa sebenarnya dia hanya untukku. Aku yakin, karena dia selalu bisa menjadi apa adanya dia setiap bersamaku.
Sepertinya hubungan kami mau ditutupi juga percuma. Momen kami dilihat oleh banyak orang, dan meski aku terkejut pun sedikit malu, nyatanya aku bahagia. Sekalipun entah kenapa ada satu orang yang melempar tatapan tak sedap setelah kejadian itu. Aku tidak tahu apa masalahku dengan Nafis.
Tepat keesokan harinya ketika aku ke perpustakan, membenamkan diri seperti biasa bersama buku referensi di karel, tanpa sengaja aku mendengar percakapan mereka. Nafis dan Rea, mereka berpacaran. Dan bukan jadi urusanku untuk memastikan itu pada mereka.
Sisa waktuku dengan Alex kurang dari satu tahun di sekolah ini. Alex yang anti dramatis nggak akan menjadikan momen itu jadi yang paling berharga untuk dihabiskan dengan berdua. Kami punya saatnya sendiri. Kata Alex orang yang suka pamer hubungan asmaranya itu katrok. Makanya aku cuma mau ngikutin alur yang coba dia buat antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]
Teen FictionSELAMAT MENYELAMI! "This book will change your trouble minded about teenage relationship. Because, being forever is not that simple."