Teruntuk jiwa-jiwa yang ditiupkan untuk bercumbu dengan tangga nada.
***
"Gimana si Louisa? Udah sadar, Yan?" tanya gue ke Pian yang ada di seberang bangku kanan gue.
"Udah, dia cuma buru-buru ngejar bus tadi. Mungkin saking semangatnya mau sekolah di hari pertama sampai nggak sempet sarapan."
Gue nanya gitu karena nggak tahu keadaannya gimana. Karena pas dia pingsan, anak-anak PMR yang berseragam kompak langsung sigap angkat Louisa ke UKS. Dan gue juga selesai upacara harus segera ke ruang informasi buat verifikasi pin kartu yang gue dapat, sistem dan fungsinya persis kayak ATM.
Nggak, gue nanya-nanya soal Louisa bukan karena khawatir atau apa. Ini cuma, apa ya, gue nggak tahu mau ngapain aja. Lagi salah gerak tahu, gara-gara sebangku sama cewek. Makanya gue ngelakuin apa aja yang sekiranya bisa bikin orang yang ada di sebelah gue itu nggak mengira gue lagi kegirangan dapat sebangku sama dia. Jelas nggak. Ini pertama kalinya gue duduk sebangku sama cewek.
Rea lagi ngobrol sama cewek yang duduk di sebelah bangku Louisa. Kalau nggak salah ingat, dia namanya Hanum. Ngobrolnya juga masih aneh gitu, mungkin berusaha mengakrabkan diri. Dan nggak mungkin juga misal tiba-tiba gue ngoceh berisik di sebelah Rea. Ya walaupun tadi kita verifikasi kartu bareng dan balik ke kelas pun juga bareng. Tapi bagi gue tetep nggak sopan kalau langsung sok kenal gitu aja. Sepanjang jalan tadi juga nggak ada percakapan sepatah kata pun. Ini bukan berarti gue payah banget ya soal urusan sama cewek, gue nyadar aja kalau gue ini pendatang. Gue belum ngerti aturan main bersosial di kota. Siapa tahu di sini ngajak kenalan cewek merupakan satu hal yang nggak sopan. Ah! Mengada-ada. Bilang aja gue mau ngeles.
Gue mengamati sih sesaat. Rea memang matanya biru. Rambutnya juga ternyata nggak hitam-hitam amat, ada sedikit kecoklatan. Warna kulitnya beda dari yang lain, nggak ada jerawatnya. Dia juga wangi. Ini yang bikin gue nggak asik banget bawaannya. Entah kenapa parfum yang gue pakai seolah cepet banget menguapnya. Tapi masih mending sih dibanding sama punya Tuan Disiplin. Gue nggak kuat sama bau-bau minyak wanginya. Kadang gue heran sama dia, mau ke kantor kok aromanya kayak mau ke masjid. Pengin gitu, gue kasih dia rekomendasi parfum yang cowok banget. Tapi ya mau gimana lagi, bapak-bapak pantesnya emang gitu. Cuma satu hal yang gue nggak bisa kayak dia, yaitu kerapian.
Well, gue juga nggak berani bilang kalau gue ini berantakan. Kalau Ayah bisa tampil rapi sama apapun yang dia kenakan, maka gue adalah si Tuan Simpel. Gue suka kesederhanaan. Makanya nggak heran kalau gue penikmat musik akustik tanpa campuran elektrik, dan musik beraliran folk atau indie. Jelas beda banget sama Ayah yang suka sama aliran country (wajar bapak-bapak). Itu sebabnya, demi apapun, gue nggak rela dia masuk kamar gue entah tujuannya mau apa, kalau masuk kamar mau nabok nyamuk doang, okelah boleh, tapi dia itu kalau masuk kamar ... itu cuma mau komentar soal selera gue aja. Itu kan nggak asik banget.
"Fis, ini kamar apa studio musik?" suatu hari dia nanya.
"Orkes keliling."
Ya gue heran aja, selera orang kok dikomentarin. Dia kalau lagi muter lagu-lagunya Brad Paisley misal lembur di ruangan luas dekat kamar utama juga gue nggak pernah protes. Memang sangat disayangkan ketika akhirnya gue dapat tempat belajar di ruangan yang sama dengan dia, tapi menjadi sedikit toleran karena meja gue adalah yang dulu digunakan Bunda buat belajar waktu kuliah. Sebuah meja persegi panjang beralas penampang kaca. Dan di hari pertama sekolah ini, itu artinya, nanti malam gue juga harus mulai belajar di ruang itu, bareng dia yang selalu sibuk di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]
Novela JuvenilSELAMAT MENYELAMI! "This book will change your trouble minded about teenage relationship. Because, being forever is not that simple."