Chapter - 30 B: Bicara Serius

5.3K 943 67
                                    

🎸 Nafis Dewasa 🎸

***

Jadwal tayang film yang ingin Nasywa tonton masih dua jam lagi. Kami sedikit telat memesan tiketnya. Dan agaknya Nasywa tidak nyaman berada di tengah obrolan gue sama Pian. Untuk itu dia berbisik-bisik ingin pergi ke toko buku di lantai tiga. Tapi bisik-bisik Nasywa disertai dengan tangan yang terulur, “ATM,” katanya. Gue memutar bola mata kepadanya. “Jangan lupa diri,” gue jawab. Dia menyeringai.

“Itu adik lo?” tanya Pian.

Gue baru mengiyakan setelah melihat tubuh Nasywa pergi.

“Gimana rasanya jadi pengacara?”

“Sibuk.”

Gue meringis mendengar jawaban Pian. “Setidaknya sibuk dari pada nggak ada job sama sekali.”

“Tapi sibuk yang seru kalau gue. Apalagi kalau kasus yang gue tangani tentang sengketa. Ricuh.”

Gue tahu ini sudah usia kita untuk membicarakan tentang kerjaan. Tapi ada hal lain yang juga perlu gue bicarakan dengan Pian. Tentu saja, gue penasaran sekarang dia sedang punya gebetan atau tidak. Cowok ke cowok kalau nggak nanya kerjaan, ya nanya tentang cewek. Apalagi kalau jawabannya adalah;

“Gue lagi nggak punya siapa-siapa, Fis.”

Itu seolah gue punya teman buat meratapi bersama.

Aih, meratap.

Seolah ‘sendirian’ adalah suatu kondisi yang begitu ... apa? Dibilang menyiksa ya memang. Tapi tergantung bagaimana gue mengatasinya. Gue bisa menghibur diri dengan hal-hal yang lain, tapi kebanyakan gagal. Gue tipikal penyendiri yang cukup menikmati momen sepi. Terlebih karena gue tidak suka terlibat dengan banyak orang.

“Tapi, kesendirian ini bisa jadi yang sudah takdir kehendaki supaya gue punya alasan mantap ketika ketemu orang baru yang menarik,” Pian mengisyaratkan dagunya ke arah belanjaan Nasywa di dekat gue.

“Coba aja kalau bisa,” gue menantang.

“Kalau harus melintasi abangnya dulu sih, gampang!”

Gue berdecih, “Lo belum tahu Ayah gue.”

“Gue udah ketemu beliau beberapa kali.”

“Itu hanya sebatas ketemu karena gue mau mengenalkan lo pada keluarga gue. Dan itu dulu sekali. Masa lalu nggak bisa dijadikan alat komparasi.”

“Masa lalu selalu bisa jadi alat komparasi. Beberapa orang berubah, beberapa juga masih tetap sama.”

“Mungkin.”

“Jadi ini semacam lo ngebolehin gue deketin adek lo?”

Gue menyipitkan mata, “Tahu nggak? Sekarang gue pingin ninju muka lo semenjak perjumpaan tadi.”

Pian tertawa. “Kalem aja, Fis! Gue tahu seperti apa keluarga lo.”

Gue menyesap minuman.

“Lagian kayak lo nggak lagi tertambat sama anggota keluarga gue aja.”

Gue tahu maskud Pian. Dan reaksi gue mungkin cukup dengan bersikap abai.

“Gue lihat IG-nya, dia lagi sibuk latihan buat tampil di Broadway.” Gue menatap Pian dengan rahang mengetat. Gue cuma gugup ketika dia mulai mengobrolkan topik yang gue rindukan. “Nggak tahu apa judulnya, tapi itu semacam adaptasi dari buku klasik. Harusnya sih lo tahu, itu pun kalau lo masih ngikutin akun Instagramnya.”

“Gue nggak suka main sosmed. Jadi jangan seolah itu sebuah dosa kalau gue nggak tahu banyak.”

“Rea sering unggah video kesibukannya,” jelas sekali Pian sedang berusaha memancing gue supaya bereaksi dengan obrolan ini, “Omong-omong, sekarang dia cantik banget.”

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang