Chapter-04: Boys Talk

8.9K 1.1K 185
                                    

Aku masih diam, kau masih diam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku masih diam, kau masih diam.
Tapi semesta juga bergerak diam-diam.
Diam-diam menyiapkan panggung terapik untuk opera cinta dua manusia.

Aku masih di sini, kau masih di sana,
Tapi takdir bergerak di mana-mana menanti kita memenuhinya.

Diam-diam saja.
Pelan-pelan saja.
Kita akan sampai.

1

Gue membuka pintu kamar sambil nyelempetin ponsel ke telinga sama pundak karena tangan gue sibuk naruh tas dan benahin sepatu. Bunda nelepon waktu mobil yang Ayah kemudikan baru saja ngelewatin gerbang rumah. Ada waktu sekitar setengah jam sebelum masuk waktu maghrib.

"Ya gini aja, Bun," kata gue sambil menjatuhkan punggung ke kasur. Tubuh gue membal karena per-nya kuat banget tempat tidur ini. Gue melonggarkan sabuk biar lega, juga melepas kancing atas seragam. Pintu juga gue kunci biar nggak ada yang masuk. Ini memang cuma telepon sama Bunda. Tapi gue suka kalau ngobrolnya sepi.

"Kamu masih rewel ya sama Ayah?"

"Rewel gimana?"

"Jangan bikin Ayah repot, Nafis. Ayah udah repot sama kerjaannya. Jangan dikasih tambahan tugas oleh sikapmu."

"Nggak kok, Bun."

"Jangan bohong. Bunda tahu apa yang terjadi di sana walaupun Ayah nggak cerita."

"Sekarang Bunda bisa ngeramal?"

"Fis."

"Iya, bercanda," kata gue sebelum hening sesaat. "Habisnya. Di sini itu garing banget. Nggak ada Nashwa, sama Bunda."

"Bercandamu itu yang harusnya nggak perlu. Kamu pasti masih mempersulit Ayah, kan? Apa Bunda mesti ke sana? Nggak mungkin lah itu, Nak."

"Nggak mungkin gimana? Bunda tinggal pindah aja ke sini. Bawa klinik sama Nashwanya juga. Kan di sana udah ada dokter lagi. Lagian-."

"Jangan lihat Ayahmu itu sebagai laki-laki. Anggaplah dia itu sebagai ayahmu. Maka canggungmu akan hilang. Sampai kapanpun Ayah nggak akan bisa marah."

"Tapi tadi pagi dia geretak saya, Bun," gue sedikit menekankan.

"Apa kamu yakin itu marah? Sebab keinginannya sendiri buat marah? Yakin bukan kamu yang memulai?"

"Bun, tapi kan-."

"Bunda nggak ingin kamu kayak gitu. Bunda juga ingin bisa selalu ada buat kamu di sana. Nyiapin sarapan kamu. Nyiapin seragam sekolah kamu," di sini nada bicara Bunda agak aneh. Itu membuat gue lumayan tersentuh. "Bunda setuju melepas kamu untuk sekolah di Jakarta bukan lain karena Bunda percaya sama ayah. Di dunia ini nggak ada orang yang lebih Bunda percayai untuk menjaga kamu selain Ayah. Bahkan bagaimana Bunda menjaga kamu selama Ayah di Jakarta, itu belum seberapa dengan cara dia melakukannya buat kamu, Nak. Lagipula, ini kan yang kamu ingin dari dulu? Memiliki waktu lebih banyak bareng Ayah."

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang