Chapter - 20: Ayah dan Rahasianya

5.7K 713 52
                                    

***🎸Nafis🎸

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***
🎸Nafis🎸

***

Pada kenyataannya angka sama sekali tidak bisa kita jadikan sebagai alasan tunggal kenapa seseorang menjadi dewasa. Untuk usia mungkin iya, sebagai ukuran ketuaan. Tapi bagaimana menindaki sebuah masalah dan mengatakan apa yang perlu disampaikan itu jauh lebih cakap buat jadi tolok ukur kedewasaan. Ada yang bilang, kalau orang pintar itu tahu dengan apa yang diucapkannya, tetapi lain lagi dengan orang bijak yang tahu dengan apa yang harus diucapkan sekaligus apa yang tidak harus diucapkan. Say it, or keep it. Bijak lebih gue pilih sebagai ukuran dewasa. Dan pada malam yang baik ini, gue telah belajar banyak dari ego remaja gue sendiri.

Kita sudah menghabiskan semua hidangan yang ada di meja. Sementara Bunda dan Ayah sedang ngobrol dengan seseorang yang Ayah kenal, gue berjalan ke kursi-kursi yang sudah tertata rapi dekat tepi. Melihat Jakarta yang gemerlap dari balik kaca-kaca besar. Louisa dan Pian sudah duluan ke sana. Gue bahagia, meski rasanya ada yang kurang karena Rea nggak ada. Alih-alih harusnya gue kenalin Rea ke orang tua gue, tapi malah Louisa. Nggak enak aja ketika Bunda menebak kalau Louisa adalah pacar gue, karena sangkaan itu membuat Louisa gelagapan menyangkal. Untung Pian bisa sigap menolong gue dengan berkata, "Pacarnya Nafis masih rahasia." Well, meski itu sontak membuat Ayah melirik ke gue dan mengangguk penuh curiga.

"Aah, ini sih keren gila!" seru Pian sambil foto-foto ribet banget. Dia bahkan sempet nge-live di Instagram. Nggak perlu ditanya alasannya kenapa.

"Kagum boleh, katrok jangan," kata gue menertawakan tingkahnya. Omong-omong Pian mengenakan pakaian yang formal banget, blazer mengkilapnya dan celana yang melipit setrikaannya. Meski agak ketolong sama kaos yang dia pakai di dalam.

"Kapan lagi sih gue bisa main gratis ke tempat seperti ini," sahutnya tanpa beralih dari ponsel.

"Aji mumpung ya, Yan?" Louisa ketawa.

"Iya lah. Makasih brader, atas undangannya."

Gue mengedikkan bahu.

"Tapi kayaknya kurang spesial ya kalau nggak ada Rea," kata Louisa. "Dan kalau dia nggak maksa aku buat nemenin Pian yang nggak asik banget sok pemalu ini, kayaknya aku juga nggak bakal pernah tahu kalau pemandangan rooftop itu seindah ini."

"Siapa yang sok pemalu?" protes Pian, "Ya secara ini kan acara keluarga, dan aku juga baru pertama kali bertegur sapa sama Mamanya Nafis, yang cantik," gue berdecap padanya, "Jadi nggak bohong kalau gue malu misal jadi satu-satunya orang asing yang ada di sana. Makanya aku minta Rea buat cariin temen. Eh, yang diminta kamu, ya udah."

Louisa meneguk minuman hangatnya. Kita bertiga memang sebelum ke sini sudah memesan cokelat panas yang kentalnya bukan selera gue banget, itu idenya Louisa. "Dan permintaannya yang dadakan itu jadi membuat aku nggak bisa ngasih apa-apa ke yang lagi ulang tahun," kata Louisa.

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang