14

964 99 4
                                    


--

Hari minggu yang gelap. Sejak pagi sekali suara gemuruh Guntur diatas langit terus terdengar, tak lama setelahnya, secara tiba-tiba hantaman air langit tumpah membasahi bumi. Aina berdiri diam memandang kearah luar jendela di belakang rumahnya. Air hujan membuar riak air di kolam renangnya seperti gelombang badai di lautan. Aina mengingat-ingat, semasa kecil pernahkan ia mandi hujan seperti anak lain? Pernahkah dirinya menendang-nendang genangan air di belakang rumah megahnya dengan ceria walau harus dipegangi seseorang.

Aina rasa tidak. Hanya Justin yang pernah merasakannya. Ketika hujan datang, Justin kecil akan berteriak senang dan meminta pelayan mengambilkan jas hujan berwarna biru miliknya. Justin kecil akan membawa semua mainan mobilnya dan meminta pelayan lelaki mengikatkan tali pada mobilnya agar ia dapat menariknya tanpa remote. Dan Aina, dia hanya akan berteriak kencang dengan rasa yang sama senangnya seperti Justin, bertanya apakah air hujan semenyenangkan itu? Karena Justin keil tidak pernah tidak tertawa lepas ketika hujan turun. Aina waktu itu akan berteriak meminta Justin melakukan apa yang ingin dilakukannya. Membuat bola-bola dari tanah basah, membuat perahu kertas berlayar di genangan air, dan membuat lubang-lubang kecil di samping taman untuk para serangga berteduh.

Ketika menyadari kenangan itu, sambil menatap derasnya hujan, Aina menyadari bahwa dirinya tidak cukup menikmati masa kecilnya seperti yang Justin kecil lakukan. Dirinya hanya diam bersama bayangan gelap yang menemani hampir seluruh waktu hidupnya, dengan tawa semu yang kadang Aina sengaja lontarkan.

Aina tidak apa-apa, dia tidak masalah dengan itu. Baginya itu sudah menjadi jalan dari hidup. Dirinya tidak ingin berkeluh kesah, karena tidak akan merubah apapun pada dirinya dulu.

Dengan perlahan, tanpa ada Layla atau Alex yang melihatnya, Aina membuka pintu menuju halaman belakang yang tidak seberapa luas. Dirinya tinggal lantai tertinggi gedung ini, Kakeknya membuatkan lapak khusus untuk dijadikan taman buatan sederhana dengan kolam kecil. Ketika Aina membuka pintu, terpaan angina kencang dan percikan air yang terbawa angin menyentuh dirinya. Entah untuk hal apa, Aina merasa gemetar, namun tak urung memutuskan niatnya untuk terus melangkah. Dadanya berdetak kecang ketika dirinya berdiri di ujung pembatas atap tempatnya masih berlindung. Namun hujan yang deras dan angina kencang membuatnya tetap basah. Dengan perlahan diangkatnya sebelah kanan tangannya, menyentuh langsung air hujan yang sungguh telah ia lupakan rasanya ketika kecil dulu. Aina menaikkan sebelah tangan kirinya lagi. Kedua tangannya menyentuh terpaan air hujan yang jatuh. Rasanya seperti dicubit kecil, tapi menimbukan rasa menyenangkan.

Sudut bibir Aina berkedut, langkahnya sedikit demi sedikit kembali melangkah, ketika dirinya menuruni tangga kecil terakhir, tubuhnya telah basah seutuhnya. Tertimpa air hujan dengan keras dan sangat dingin. Tubuh kecil Aina seketika bergetar lebih keras, karena angin yang kencang dan dirinya mulai kedinginan. Namun Aina malah tersenyum lebar, tertawa kecil tanpa sadar air hujan yang membasuh wajahnya telah bercampur air matanya.

Beginikah rasa Justin bermain hujan dulu?

Ini sangat dingin, kalau Mama tau aku bisa mati dimarahi.

Tapi ini menyenangkan. Sangat menyenangkan dan membahagiakan.

Aina tertawa lebih lebar dan langkahnya lebih cepat berlari ketengah taman tepat di samping kolam renang yang tengah beriak. Dirinya seperti kehilangan jati diri. Tertawa menendang nendang air, mengelilingi taman dengan suara gelak tawanya. Persis seperti Justin lakukan dulu.

"AINAAAA!!! APA KAU SUDAH GILA?!!"

Aina mengabaikan teriakan itu bahkan dirinya semakin semangat berlarian di pinggir kolam sambil menyibak-nyibakkan air genangan air dengan kakinya. Alex benar-benar tak habis pikir dengan apa yang Aina lakukan sekarang. Setelah hampir setengah jam mengelilingin seluruh isi rumah mencari wanita itu, tanpa sengaja Alex mendengar suara tawa yang tak pernah di dengarnya, mencari asal suara itu, dan Alex sempat terpaku melihat Aina yang tertawa begitu lepas sambil berlarian.

"Aaaaaaakh!! Byuurr"

Aina terpeleset, membuat tubuhnya yang belum melakukan persiapan untuk keseimbangan diri, limbung dan jatuh kedalam kolam. Jelas hal itu tak luput dari tatapan Alex, lelaki itu berteriak memanggil Aina dan menerjang hujan dan ikut menjatuhkan diri kedalam kolam untuk menyelamatkan Aina.

Aina menggerakan seluruh tubuhnya yang terasa kaku, di dalam air. Dirinya sama sekali tidak bisa berenang, entah kapan terakhir kali dirinya menyentuh air kolam, yang pasti tubuhnya terasa kaku dan hanya berharap tubuhnya terapung keatas dan Alex membantunya.

Dan seperti harapannya tubuhnya terasa ditarik kedalam sebuah rengkuhan erat dan membawanya kepermukaan. Ketika wajahnya menyapa terpaan angin, Aina tanpa enggan meraup sebanyak mungkin udara untuk rongga parunya yang sempat terasa kosong. Saat masih mengambil nafas, dirasanya sebuah tangan mengusap wajahnya, menyeka air yang mengenai mata dan rambut yang sudah berantakan di wajahnya.

"Kau gila!! Kau bisa mati, kau tau itu?" Alex memarahinya dengan keras tanpa segan, namun terdengar pula suara kepanikan dan khawatir dalam suara tegasnya.

Aina menatap kedua mata alex, dan mata itu juga menatapnya dalam. Keras dan tajam, seakan menyiratkan kemarahan yang harus ditahannya. Tetapi, bukan rasa takut atau kesal yang dirasakan Aina, masih dalam dekapan erat dan keporotektifan Alex, Aina justru merasa sesuatu yang bergetar dalam hatinya. Getar yang jelas jauh terasa berbeda dari yang ia rasakan kepada Theo kemarin.

"Ini menyenangkaaaan!!!" Aina tertawa tak lama kemudian tanpa memutuskan pandangannya. Dirinya mencoba melepaskan diri dari Alex, namun lelaki itu menahan lingkaran tangannya di pinggang kecilnya, "Alex, ini sungguh-sungguh menyenangkan. Aku tau ini berbahaya, maaf, tapi aku terlalu bersemangat dan senang. Ini adalah hujan pertama yang kurasakan dalam hidupku, dan aku menyukainya!"

Entah apa yang harus Alex katakan, namun senyum dan tawa kebahagiaan itu jelas telah menguras habis kemarahannya. Ada sesuatu dalam senyum Aina yang menarik kewarasan dirinya. Seperti dirinya hampir tidak bisa mengendalikan diri, bersikap diluar batas dirinya hanya seorang bodyguard pribadi wanita itu.

"Kau bisa mengatakan padaku jika kau ingin bermain hujan, Ain."

"Apa kau akan mebiarkan ku melakukannya? Di tengah hujan sederas ini?" tidak. Itu adalah jawaban yang tertahan di ujung lidah kelu Alex, "Aku hanya tidak ingin menyentuhnya pertama, lalu entah mengapa ingatan akan aku dan Justin bermain hujan dulu datang. Maksudku, bukan aku yang bermain, Justin yang melakukannya. Tawanya terngiang. Sangat lepas dan bahagia. Aku hanya ingin merasakannya. Karena.., sudahlah kau tidak akan..."

Aina memejamkan matanya terkejut, dan seketika jantungnya terasa berhenti berdetak. Air hujan yang deras membuat wajahnya terasa sedikit perih karena bersentuhan langsung walau terhalang oleh wajah Alex. Lelaki itu, entah bagaimana mengandahkan dagu Aina tinggi dan membawa bibirnya bertemu satu sama lain. Aina sama sekali tidak berpengalaman tentang ini. Dirinya sangat tabu akan lelaki. Ciuman pertama dan terakhir kalinya masih dengan Theo, dan itu hanya sebuah kecupan lama. Dengan Alex, lelaki itu memanggutnya, mengecupnya, dan menghisap lembut namun menuntut. Aina hanya bisa membuka kedua mulutnya, memberanikan diri membalas dengan cara yang sama.

Derasnya hujan dan riaknya air kolam di sekelilingnya, membawa rasa dingin yang menyengat, namun disaat bersamaan ia merasakan hawa panas mengalir dalam darahnya. Panas dingin.. apa yang harus Aina lakukan ketika ciuman lembut berhasrat itu semakin dalam, dan Alex tanpa segan menekan pinggul kecil Aina kearahnya.

"Aku tidak tahan.. kau membuat ku gila dengan senyum itu"

Aina mengantur helaan nafasnya ketika Alex berbicara di depan bibirnya. Nafas yang menggebu dan beradu panas, Aina tanpa sadar mendekatkan diri kedalam pelukan Alex, tangannya perlahan menggantung pada leher Alex.

"Ayo masuk.." pinta Aina menyandarkan wajahnya yang merah pada bahu Alex.

Alex mengangkat tubuh Aina dalam dekapannya kepinggir kolam, dan kembali mengangkat tubuh itu dalam gendongannya ketika dirinya juga berada di atas pinggir kolam. Tak ada kata yang terlontar, hanya gerak tubuh mereka yang berbicara, memberikan isyarat dan keduanya akan mengerti sendiri.

-TBC-

sorry late update lagi tidak sesuai janji. lanut hari kamis depan ya.

author mau holidaiin dulu bareng mameh, kemarin ada sedikit musibah dan sekarang waktunya mesyukuri waktu keluarga yang kita punya. :)

see you

I'M FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang