--Buffalo, New York City.
Jalanan itu sudah tampak beda, tak tampak lagi para tetangga yang tinggal di permukiman apartement yang terletak disetiap sisi jalan. Hembusan angin membawa serpihan daun dari pohon maple yang berguguran.
Cuaca sedikit mendingin, angin bertiup setiap detik. Tak menyurutkan langkah kaki yang mencoba membawa dirinya pada masa itu. Sesekali bibirnya tersungging senyum ramah menyapa orang-orang yang masih mengingatnya. Sungguh, ini sangat lama sejak dirinya meninggalkan kota kelahiran dan yang membesarkannya.
Langkahnya terhenti. Senyum di wajahnya masih tersemat, dan sorot mata yang menatap sarat akan rindu mendalam. Tubuhnya berdiri tepat di sebuah rumah tua lusuh yang lama tak terawat. Rumah yang saat dulu terlihat tak layak diantara para tetangganya, dan kini semakin terlihat menyedihkan karena terabaikan.
Tangannya menyentuh pagar kayu setinggi pinggulnya. Dadanya berdesir ketika iya mencoba untuk membuka. Keras. Keningnya mengernyi ketika menyadari engsel pintu yang sudah berkarat dan pengaitnya, membuatnya sulit untuk di buka.
"hey, sir. Pintunya sudah tidak bisa dibuka karena engselnya sudah sangat tua. Ku sarankan kau lompat saja. Kaki panjangmu tidak akan masalah melewatinya" seorang anak kecil menghampirinya dan memberi saran.
"ooh, kau cerdas sekali, nak. Dari mana kau tau jika engsel pagarnya sudah sangat tua?" lelaki itu menurunkan tinggi badannya dengan berjongkok di depan bocah lelaki itu.
"Woody sering bermain di halaman itu. Saat Ayahku mencoba untuk membuka untuk mengambil woody, dia berkata, "sial, engsel tua ini menyusahkan" jadi Ayahku melompati pintunya untuk mengambil Woody"
Lelaki itu tertawa mendengar cara bocah lelaki itu meniru ayahnya. Menggemaskan, pikirnya.
"jadi, apa Woody mu saat ini sedang bermain di halaman sana?" tanyanya menujuk halaman rumah tuanya.
"Tidak, Woody sudah mati tiga bulan yang lalu. Tenggelam di selokan ujung sana" ada raut sedih pada wajah anak lelaki itu sambil menatap ujung gang, yang terdapat selokan terbuka yang mungkin terabaikan oleh pemerintah untuk di tanggulangi.
"Aku turut bersedih. Ah, aku memiliki hadiah kecil untukmu, apa kau suka manisan, Bibi Stacy, di block 58 sana?"
"Apa maksdumu, Bibi Stacy adalah ibu Bibi Juliana dari toko manisan Scandy?"
Lelaki itu memutar ingatannya untuk mengingat nama anak dari pemilik toko manisan terkenal di jamannya dulu.
"Yah, mungkin Bibi Stacy sudah pensiun membuat manisan. jadi, Ya, apa kau menyukai manisan di toko itu?"
"Manisan mereka adalah yang terhebat yang ku pernah rasakan" binar-binar bahagia terpancar jelas di wajah anak itu,
"aku akan memberimu 50dollar untuk membelinya. Jangan bersedih akan Woody lagi, okay? Anak lelaki sejati tidak akan pernah menangis untuk satu hal kepergian. kau harus kuat"
"Woow, Mr., ini terlalu banyak untuk manisan seharga 2 dollar."
"kau bisa menabung sisanya"
lantas anak lelaki itu mengucapkan terimakasih dengan senyum sumringah lebarnya. sambil berlari riang menuju ujung gang untuk pergi membeli manisan. namun saat beberapa langkah kakinya berjalan, ia kembali berbalik badan dan berteriak,
"Mr., boleh aku mengetahui namamu? aku akan menceritakan hal ini pada bibi Juls, dia mungkin mengenal mu"
Lelaki itu terdiam sesaat, menimbang haruskan ia menjawabnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M FINE
Romance"Kau tahu, ketika wanita berkata tidak apa-apa, terkadang mereka benar-benar tidak apa-apa. Sebagian besar wanita memang bermaksud sebaliknya. Tapi aku, ketika aku bilang aku baik-baik saja. Aku benar, aku baik-baik saja" - Aina. Sebuah pepatah meng...